Pilkada Kotak Kosong Meroket,
Sandera Demokrasi Lokal
Oleh : Elfahmi Lubis*
Ada fenomena menarik dalam gelaran Pilkada 2024 ini, yaitu meningkatnya secara signifikan calon tunggal alias melawan kotak kosong. Data rilis dari KPU mengungkapkan ada 43 calon tunggal, yaitu 1 di Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur, 37 di Pilkada Bupati/Wakil Bupati serta 5 di Pilkada Walikota/Wakil Walikota. Sementara jika merujuk pada Pilkada serentak 2020 lalu hanya ada 25 calon tunggal.
Pengelompokan aliansi/koalisi politik pada saat Pilpres ternyata berlanjut pada Pilkada, istilah KIM Plus dan Non KIM Plus secara tidak langsung membentuk proses pencalonan di Pilkada menjadi “minim” calon. Walaupun sebenarnya, melalui Putusan MK No 60/PUU-XXI/2024 memberikan ruang yang luas bagi parpol parleme, non parlemen dan gabungan parpol untuk mengusung calon kepala darah, karena syarat treshold dimudahkan. Yakni, memenuhi ambang batas suara 6,5 hingga 10%, maka parpol tersebut dapat mengajukan sendiri calonnya di Pilkada.
Namun putusan MK keluarnya terlambat ketika proses tahapan Pilkada sudah berjalan dan konsolidasi politik parpol dalam menentukan calon kepala daerah sudah memasuki fase finalisasi. Dengan demikian parpol parlemen, non parlemen dan gabungan parpol tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengkonsolidasi diri secara politik dalam menentukan calon yang akan diusung.
Polemik terkait soal boleh atau tidak masyarakat kampanyekan kotak kosong di Pilkada calon tunggal, masih menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Bagaimana aspek hukum mengkampanyekan kotak kosong? Lalu apakah mengkampanyekan kotak kosong di Pilkada calon tunggal sama dengan mengkampanyekan golput ? Sebelum kita melihat persoalan ini dalam konteks hukum, maka perlu dijelaskan mengapa ada Pilkada calon tunggal sehingga terpaksa harus melawan kotak kosong? Kotak kosong muncul sebagai konsekuensi keberadaan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah.
Masyarakat dapat memilih kotak kosong apabila pasangan calon tunggal yang maju pada pemilihan kepala daerah (pilkada) dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka. Hanya saja dalam prakteknya perlakuan untuk kolom kosong atau kotak kosong di Pilkada belum setara. Padahal, penting memastikan pemilih paham bahwa calon tunggal bukanlah satu-satunya pilihan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, melegalkan Pilkada calon tunggal jika setelah perpanjangan masa pendaftaran calon kepala daerah tetap cuma satu pasangan calon yang mendaftar. Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam ketentuan pasal 54C menyatakan (1) pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat; (2) terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; (3) sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; (4) sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; (5) terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
Hanya saja dalam putusannya, MK tidak setuju jika Pilkada calon tunggal melawan kotak kosong. MK berpendapat Pilkada dengan calon tunggal dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat (pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju”. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara terbanyak, maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih (hal. 44 – 45 putusan MK).
Apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai pemilihan kepala daerah serentak berikutnya (hal. 45 putusan MK).
Hanya saja dalam UU Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak sesuai dengan putusan MK. Dalam UU Nmor: 10 Tahun 2016, menyatakan pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Menurut pandangan saya jika ketentuan perundang-undangan sudah memberikan legalitas calon tunggal di Pilkada, sudah selayaknya juga perlakuan untuk kotak kosong diberikan perlakuan yang adil dan setara dalam proses kontestasi Pilkada. Jika pasangan calon kepala daerah diberikan kesempatan untuk mengkampanyekan dirinya kepada pemilih, hal yang sama juga seharusnya diberlakukan sama terhadap kotak kosong sebagai konsekuensi diakomodasinya kolom kosong dalam putusan MK dan UU. Bahkan, porsi untuk mengkampanyekan kotak kosong di tahapan kampanye juga diberikan porsi yang sama dengan paslon tunggal. Dalam konteks ini mengkampanyekan kotak kosong jelas tidak sama dengan mengkampanyekan golput atau menyuruh orang tidak memilih. Dasarnya, kotak kosong sah secara hukum dilegalkan oleh Putusan MK dan UU. Sementara golput tidak ada aturan hukum yang melegalkan.
Hanya saja terkait mengkampanyekan kotak kosong secara hukum terjadi “kekosongan hukum”. Soalnya tidak ada norma yang secara eksplisit mengatur soal boleh atau tidaknya mengkampanyekan kotak kosong di Pilkada calon tunggal, sebagaimana aturan yang mengatur hak paslon tunggal untuk kampanye.
Sementara KPU sendiri berpandangan bahwa mengkampanyekan kotak kosong dilarang didasari oleh ketentuan dalam UU yang menyatakan bahwa kampanye itu dilaksanakan tim kampanye, yang memiliki arti seseorang yang mendapatkan surat mandat dari pasangan calon. Sementara, kotak kosong abstrak atau tidak ada seorangpun yang mencalonkan dan dicalonkan, dengan begitu tidak seorangpun yang mendapat mandat mengkampanyekan kotak kosong. Selain itu, kampanye juga memiliki arti penyampaian visi misi dan program dari pasangan calon. Semoga mencerahkan.
(*Dosen UMB/Ketua LBH-AP Muhammadiya)