Pejabat Pemkot Tak Sejalan dengan Walikota, Legowo Mundur.!
Nasional, Darahjuang.online — Walikota Dedy Wahyudi dan Wakil Walikota Tobing, kemarin Kamis (20/02/2025) telah resmi dilantik oleh Presiden RI Prabowo Subianto sebagai Walikota Bengkulu Periode 2025/2030 di Istana Negara. Dengan telah resmi dilantik, berarti dimulainya nakhoda baru yang akan memimpin penyelenggaraan pemerintah Kota Bengkulu untuk 5 tahun kedepan.
Hal utama yang harus dilakukan walikota dan wakil walikota baru, adalah memastikan seluruh OPD dan struktur pemerintahan dibawahnya mampu mendukung dan sekaligus loyal terhadap seluruh kebijakan serta program walikota. Terutama terkait visi, misi, dan program kerja yang sudah disampaikan pada saat Pilwakot yang lalu. Oleh sebab itu, agar program dan kebijakan walikota mampu terimplementasi dengan baik, maka seluruh jajaran Pemkot mulai dari Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Bagian, UPTD, Camat, Lurah, sampai jajaran teknis harus satu irama dan satu visi dengan walikota.
Untuk itu Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu Elfahmi Lubis menyarankan kepada pejabat di jajaran Pemkot yang tidak sejalan dan loyal kepala walikota Dedi Wahyudi, untuk secara gentelman mengundurkan diri sehingga keberadaan mereka tidak menjadi “benalu” bagi Pemkot.
Soalnya, pekerjaan rumah yang harus dibereskan Walikota kedepan sangat berat, mulai soal bagaimana meningkatkan program-program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, persoalan sampah, infrastruktur dasar yang belum merata diseluruh wilayah, masalah pendidikan, persoalan sampah, persoalan pasar, dan lain-lain. Selain itu Pemkot juga harus mensukseskan program prioritas pemerintah pusat seperti program makan siang bergizi bagi siswa dan program ketahanan pangan serta energi.
“Saya pikir para pejabat di jajaran Pemkot harus realistis, jika selama ini merasa tidak sejalan dengan Walikota dan Wakil Walikota baru, lebih baik mengajukan pengunduran diri saja. Daripada tetap jadi pejabat tetapi hati dan pikiran tidak sejalan dengan visi, misi, dan program pak wali,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai Advokat dan Mediator ini.
Menurutnya lagi, memang dengan sistem kontestasi politik dimana birokrasi sering terlibat dalam praktik politisasi, mengakibatkan dalam setiap Pilkada banyak pejabat ikut “bermain” politik dengan cara menggalang dukungan politik pada pasangan calon kepala daerah yang sedang berkontestasi. Bahkan, itu tidak jarang dilakukan secara terang-terangan mendukung kandidat tertentu. Hal ini jelas meninggalkan residu politik pasca Pilkada, dimana banyak pejabat yang akhirnya berhadapan dengan kepala daerah terpilih yang bukan didukungnya. Kenyataannya ini jelas memberikan implikasi, baik secara politis maupun etis.
“Saya pikir menjadi pelajaran sekaligus pesan moral bagi teman-teman birokrat yang jadi pejabat di jajaran pemerintah. Lain kali jadilah birokrat yang profesional dan mampu menjaga netralitas selama proses kontestasi Pilkada. Sehingga siapa saja yang terpilih sebagai kepala daerah, tidak jadi masalah. Tapi kalau kita ikut bermain politik, ketika jago yang kita dukung kalah, maka pasti memberikan implikasi secara politis bagi diri pejabat yang bersangkutan,” pungkasnya. (01)