Tambang Emas Bukit Sanggul: Ketika Kekuasaan Menukar Moral dengan Material
Sebagai Koordinator BEM SI Wilayah Bengkulu, saya memandang langkah Pemerintah Provinsi Bengkulu yang meminta 20% saham dari proyek tambang emas Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma bukan sebagai tanda keberanian membela kepentingan rakyat, melainkan cerminan bahwa kekuasaan hari ini telah bernegosiasi dengan nurani.
Bukit Sanggul bukan sekadar kawasan yang bisa digali dan dijual. Ia adalah ruang hidup rakyat, sumber air bersih, dan penopang ekosistem yang menjadi bagian dari identitas Bengkulu.
Namun ketika yang dibicarakan oleh pejabat hanyalah angka dan saham, maka jelas arah kebijakan ini telah menyimpang dari kepentingan publik.
Saham tidak bisa mengganti hutan yang hilang, dan uang tidak akan pernah menebus rusaknya kehidupan.
Menurut saya, sebagai Koordinator BEM SI Bengkulu, langkah pemerintah yang berlindung di balik jargon “pembangunan daerah” hanyalah pembenaran semu untuk eksploitasi yang telah disepakati secara politik.
Sudah terlalu sering rakyat Bengkulu mendengar janji manis tambang katanya membuka lapangan kerja, meningkatkan PAD, dan mensejahterakan daerah.
Tapi yang terjadi selalu sama: rakyat kehilangan tanah, air, dan harapan, sementara keuntungan justru mengalir ke segelintir elit yang bersembunyi di balik meja kekuasaan.
Lebih parah lagi, di tengah isu tambang ini muncul aktor-aktor yang bermuka dua.
Mereka berteriak menolak tambang di depan publik, tapi bernegosiasi di belakang layar.
Menjual sikap demi posisi, menukar suara penolakan dengan uang dan jabatan.
Menurut saya, inilah pengkhianatan moral terbesar terhadap rakyat Bengkulu.
Karena ketika suara penolakan bisa dibeli, maka perjuangan kehilangan maknanya, dan rakyat kehilangan pembela sejatinya.
Saya meyakini bahwa Bengkulu tidak akan maju dengan tambang, tetapi dengan keadilan.
Kemajuan tidak ditentukan oleh berapa persen saham yang didapat pemerintah, tetapi oleh seberapa besar keberpihakan mereka kepada rakyat dan lingkungan.
Kalau benar proyek ini membawa manfaat, maka buktikan dengan keterbukaan: tampilkan izin, bukti kajian lingkungan, dan libatkan rakyat dalam keputusan.
Jangan hanya bicara keuntungan tanpa mengukur dampak bagi kehidupan.
Menurut saya, pemerintah yang benar-benar pro-rakyat tidak sibuk berbagi saham, tetapi sibuk menjaga masa depan.
Karena setiap meter tanah yang dirusak hari ini adalah utang ekologis bagi generasi yang akan datang.
Dan setiap tanda tangan pejabat atas izin tambang tanpa kajian yang jujur adalah pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral dan sejarah.
“Ketika pejabat sibuk menghitung saham, rakyat sedang menghitung kehilangan.
Ketika emas digali, air menjadi racun, dan ketika rakyat diam, kerakusan menjadi kebiasaan.”
Sebagai Koordinator BEM SI Wilayah Bengkulu, saya tegaskan:
Bengkulu bukan untuk dijual. Bukit Sanggul bukan untuk ditambang.
Dan suara mahasiswa tidak akan bisa dibungkam oleh saham dan kepentingan.
Kami akan terus bersuara karena rakyat yang diam adalah keuntungan bagi penindas, dan mahasiswa yang takut adalah kemenangan bagi koruptor.
Kelvin Malindo
Koordinator BEM SI Wilayah Bengkulu