Alaku
Alaku
Alaku

Hak Imunitas vs Kriminalisasi Advokat oleh Elfahmi Lubis 

Hak Imunitas vs Kriminalisasi Advokat 

Oleh : Elfahmi Lubis  

Alaku

(Ketua DPC Kongres Advokat Indonesia Kota Bengkulu) 

 

Sebelum saya memulai tulisan soal “Hak Imunitas vs Kriminalisasi Advokat”, maka terlebih dahulu penulis sampaikan pesan harian Presiden Prabowo bagi penegakan hukum sebagai berikut : (1) larangan kriminalisasi rakyat kecil, (2) larangan mencari-cari masalah, yaitu penegakan hukum harus atas motivasi yang murni bukan karena dendam politik atau persoalan pribadi, (3) penegakan hukum harus dengan hati nurani, (4) perlindungan terhadap rakyat lemah, dan (5) koreksi dan evaluasi diri lembaga penegakan hukum.

 

Mengapa Pesan Presiden Prabowo ini menjadi penting dalam pembahasan tulisan saya ini, karena selama ini penegakan hukum yang dilakukan oleh APH seringkali didorong motivasi lain di luar hukum. Apakah itu motivasi ekonomi, politik, dan tidak jarang karena persinggungan masalah pribadi. APH sering melakukan abuse of power dalam penegakan hukum. Otoritas, kewenangan, dan kekuasaan yang diberikan undang-undang dijadikan “senjata” untuk petantang-petenteng, dan seolah-olah bisa melakukan apa saja terhadap warga negara dengan berlindung dibalik kewenangan yang dimilikinya.

 

Tidak terkecuali, profesi advokat dalam banyak kasus menjadi korban “kriminalisasi”, baik atas dasar motif intervensi, balas dendam, maupun ketersinggungan pribadi dan institusi. Bahkan, seringkali muncul anekdot ” Kalau advokat pernah mengalahkan APH di sidang praperadilan, siap-siap untuk menjadi incaran atau terget balas dendam” .

 

Anekdot ini bukan pepesan kosong, dalam banyak kasus kriminalisasi terhadap profesi advokat berawal dari persoalan persinggungan pribadi seperti ini. Padahal dalam proses penegakan hukum praperadilan adalah mekanisme yang disediakan UU dan merupakan cara yang sah dan elegan bagi siapa saja yang merasa dirugikan dari proses penegakan hukum.

 

Mendorong perlindungan advokat melalui hak imunitas sama sekali tidak bermaksud untuk menempatkan profesi ini agar diberikan privilege hukum (tidak sama sekali). Penulis sepakat dengan asas equality before the law, bahwa setiap orang memiliki persamaan hak di depan hukum.

 

Namun dalam konteks ini, perlindungan terhadap profesi advokat melalui hak imunitas harus dimaknai sebagai bentuk proteksi negara terhadap warga negara untuk tidak dikriminalisasi atas pekerjaan dan profesi yang sedang dijalani seorang advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya, baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan.

 

Kondisi obyektif, membuktikan bahwa dalam menjalan profesinya seorang advokat seringkali bersinggungan dengan masalah hukum. Terutama ketika sedang melakukan pembelaan terhadap klien. Hal ini juga yang menyebabkan advokat sering ikut diseret-seret ke persoalan hukum. Biasanya dituding ikut merintangi proses penegakan hukum, tuduhan pencemaran nama baik, tuduhan pemalsuan, tuduhan memberikan keterangan dan sumpah palsu dan tuduhan pidana lainnya.

 

Sementara berkaitan dengan proses hukum yang melibatkan profesi advokat, antara sesama penegak hukum pun masih sering mis komunikasi. APH dengan segala kewenangan yang diberikan UU kadang terkesan “arogan” dan sewenang-wenang. Sementara advokat sebagai “anak bungsu” aparat penegak hukum, seringkali dianggap inferior dari aparat penegak hukum lainnya.

 

Mungkin karena advokat tidak punya kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang dimiliki APH lain. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dan bahkan tidak punya gaji dan senjata dari negara untuk melakukan tindakan refresif.

 

Sebagaimana profesi lain, sebut saja jaksa, polisi, jurnalis, dan dokter mereka memiliki privelige ketika berhadapan dengan masalah hukum. Jaksa misalnya dalam Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Presiden, kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan kemanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Walaupun berdasarkan putusan MK pasal ini sudah mengalami perubahan.

 

Hal yang sama juga untuk kepolisian, sebelum diajukan dalam perkara pidana, maka terlebih dahulu diajukan ke sidang etik, terhadap jurnalis juga tidak bisa langsung dilaporkan pidana jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, penyelesaian awalnya harus melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pers, yaitu melalui Dewan Pers, yang mencakup hak jawab dan hak koreksi.

 

Pertanyaan mengapa terhadap advokat berhadapan dengan pelaporan polisi ketika sedang menjalan pekerjaan atau profesi membela kepetingan kliennya dengan itikad baik, penyidik tidak terlebih dahulu menggunakan mekanisme penyelesaian melalui organisasi advokat terlebih dahulu.

 

Dalam konteks ini, penyidik (jika masih ingin saling menghargai sesama APH) seharusnya memberikan kesempatan kepada organisasi advokat dimana advokat yang bersangkutan bernaung untuk melakukan pemeriksaan etik melalui dewan kehormatan. Tidak ujug-ujug, laporan pidana terhadap advokat langsung diproses tanpa berkoordinasi dengan organisasi advokat (konteks kasus dimana advokat sedang menjalankan pekerjaan dan profesi melakukan pembelaan tehadap kliennya bukan dalam konteks advokat melakukan perbuatan pidana diluar pekerjaan dan profesinya)

 

Hak imunitas advokat adalah hak yang diberikan berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Selanjutnya diperluas dan diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 memperkuat. Hak ini diberikan oleh negara untuk melindungi advokat dari tuntutan pidana dan perdata, selama menjalankan profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di dalam atau di luar sidang. Tujuan hak ini adalah untuk memastikan advokat dapat berjuang demi keadilan tanpa rasa takut diintimidasi atau diproses hukum. Bahkan dalam KUHP baru yang diberlakukan 2 Januari 2026 nanti, keberadaan hak imunitas advokat semakin dikuatkan.

 

Hak imunitas advokat juga berfungsi memberikan ruang bagi advokat untuk membela kliennya secara maksimal demi kepentingan pembelaan hukum dan tegaknya prinsip keadilan. Selain melindungi hak dan kepastian hukum klien dengan menjamin advokat dapat bekerja dengan bebas.

 

Hak imunitas bukan berarti impunitas bagi seorang advokat. Soalnya, hak ini dibatasi dengan frasa “itikad baik”, ini mensyaratkan bahwa hak ini tidak berlaku jika advokat tidak menjalankan tugasnya dengan itikad baik, dan tetap terikat pada kode etik profesi. Oleh sebab pelanggaran kode etik dapat menjadi indikasi tidak adanya itikad baik. Selain itu hak imunitas tidak berlaku untuk tindakan di luar profesi. Hak imunitas tidak berlaku untuk tindakan yang tidak berhubungan langsung dengan proses peradilan, seperti kesalahan dalam memberikan pendapat hukum kepada klien.

 

Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum, makanya disebut sebagai penegak hukum. Oleh sebab itu keberadaan advokat sama dengan polisi, jaksa, dan hakim dalam proses penegakan hukum. Yang membedakan adalah pada fungsi, dan wewenang, sementara dari sisi regulasi pilar penegak hukum ini sama-sama diatur dalam UU. Namun kenyataannya, muncul superioritas dan inferioritas dalam sisi perlakuan. Polisi, jaksa, dan hakim sebagai aparatur hukum menjalankan fungsi langsung negara dalam bidang penegakan hukum. Dimana diberikan jabatan, anggaran, senjata, dan wewenang lebih oleh regulasi. Akibatnya, dalam praktek menjalankan profesi cenderung merasa superioritas dan tidak jarang “arogan” serta petantang-petenteng. Sementara advokat walaupun sama-sama memiliki fungsi penegak hukum, tapi tidak secara langsung menjalankan fungsi penegakan hukum negara, tidak digaji, dan bukan bagian dan struktur yudikatif negara. Oleh sebab itu sering dianggap inferioritas oleh para penegak hukum yang digaji negara tersebut.

 

Dengan maraknya kriminalisasi terhadap profesi advokat, maka kedepan pemerintah dan DPR bersama organisasi advokat perlu merumuskan kembali persoalan perlindungan terhadap advokat dalam menjalan pekerjaan tugas dan profesinya membela kepentingan kliennya baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.

 

Selain itu organisasi advokat perlu membangun persamaan persepsi dan MOU dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, dan Mahkamah Agung RI terkait dengan perlindungan hukum profesi advokat. Semuanya ini sekali lagi tidak bermaksud agar profesi advokat diistimewakan namun semata-mata memberikan perlindungan hukum agar advokat dalam bekerja terhindar dari tindakan kriminalisasi, rasa takut, dan ancaman dari pihak manapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *