Alaku
Alaku
Alaku

Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik

Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik

Oleh Krisna Andrisya Putra

Alaku

 

Kebebasan akademik, pilar utama kemajuan intelektual dan demokrasi, kini menghadapi ancaman serius dari bayang-bayang fasisme yang merangsek ke lingkungan kampus. Fasisme, sebagaimana didefinisikan oleh Umberto Eco dalam “Ur-Fascism,” ditandai dengan penolakan terhadap pluralisme, pengkultusan otoritas, dan penekanan terhadap perbedaan pendapat.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, gejala ini terlihat dari meningkatnya intervensi militer atau milisi dalam kehidupan kampus, baik melalui kebijakan, pengawasan, maupun intimidasi.

Data dari Freedom House 2024 menunjukkan penurunan indeks kebebasan akademik global sebesar 12% sejak 2019, dengan Asia Tenggara mencatat penurunan signifikan akibat campur tangan negara dan aktor non-negara. Ancaman ini bukan hanya soal pembatasan fisik, tetapi juga erosi nilai-nilai kritis yang menjadi jiwa universitas.

Intervensi militer di kampus sering kali berwujud dalam bentuk pengendalian kurikulum, pelarangan diskusi kritis, dan pengawasan terhadap aktivis mahasiswa. Di Indonesia, sejarah Orde Baru menunjukkan bagaimana militer membatasi kebebasan akademik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), yang melarang aktivisme politik dan membatasi kajian kritis terhadap pemerintah.

Kini, bayang-bayang tersebut kembali muncul melalui narasi “stabilitas nasional” yang digunakan untuk membenarkan kehadiran aparat keamanan di kampus. Misalnya, laporan KontraS (2023) mencatat 23 kasus intimidasi terhadap mahasiswa yang mengkritik kebijakan pemerintah dalam dua tahun terakhir, termasuk ancaman dari oknum militer. Pendekatan ini mencerminkan karakter fasis yang anti-intelektual, yang menurut Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism berupaya menundukkan pemikiran kritis demi kepatuhan total.

Lebih jauh, fasisme di kampus juga diwujudkan melalui budaya pengkultusan otoritas, yang menghambat diskursus ilmiah. Pemikiran progresif, yang menekankan keragaman perspektif dan keberanian menggugat status quo, menjadi sasaran utama. Sebagai contoh, pelarangan buku-buku kiri atau diskusi tentang isu sensitif seperti hak asasi manusia dan keadilan sosial di beberapa universitas Indonesia menunjukkan penyusutan ruang akademik.

Menurut Jürgen Habermas, universitas seharusnya menjadi “ruang publik” tempat ide-ide diuji secara rasional, bukan arena indoktrinasi. Namun, ketika kampus dipaksa tunduk pada narasi tunggal, sering kali didukung oleh kekuatan militer atau paramiliter maka fungsi universitas sebagai laboratorium pemikiran lenyap, digantikan oleh dogma yang melayani kekuasaan.

Dampak jangka panjang dari ancaman ini sangat merusak, tidak hanya bagi kampus tetapi juga bagi demokrasi. Mahasiswa dan akademisi yang terintimidasi cenderung melakukan otosensor, mengurangi keberanian mereka untuk mengejar kebenaran ilmiah atau mengadvokasi perubahan sosial.

Penelitian oleh Scholars at Risk (2024) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat represi akademik tinggi, seperti Turki dan Hong Kong, mengalami penurunan inovasi ilmiah dan partisipasi sipil. Di Indonesia, fenomena ini diperparah oleh rendahnya anggaran pendidikan (hanya 3,5% dari PDB pada 2024, jauh di bawah rekomendasi UNESCO sebesar 6%), yang membuat universitas rentan terhadap tekanan eksternal, termasuk dari aktor militer yang menawarkan “stabilitas” sebagai ganti otonomi. Ketergantungan ini menciptakan lingkaran setan, di mana kampus kehilangan daya kritisnya dan menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Untuk melawan ancaman fasisme ini, diperlukan perlawanan kolektif yang berbasis pada pemikiran progresif dan solidaritas akademik. Universitas harus memperkuat otonominya melalui aliansi dengan organisasi sipil dan internasional, seperti Scholars at Risk, untuk melindungi kebebasan akademik. Selain itu, mahasiswa dan dosen perlu membangun ruang diskusi alternatif, baik daring maupun luring, untuk menjaga semangat kritis tetap hidup. Pemikiran ilmiah yang progresif, sebagaimana diadvokasi oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, menekankan pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan penundukan. Dengan mengadopsi pendekatan ini, kampus dapat menjadi benteng melawan fasisme, menolak bayang-bayang militer, dan memperjuangkan kebebasan akademik sebagai fondasi masyarakat yang adil dan demokratis.

Dirilis pada media DJO, hari Senin tanggal 21 April 2025. (Red/01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *