*MENENUN PERADABAN DARI DESA:*
Ketika Sebuah Desa Adalah Selembar Kain Batik yang Hidup
Oleh
Founder Kampung Batik Panca Mukti dan pernah menjadi Konsultan SDGs
(Selamet Imam Wahyudin)
Sebuah desa, jika direnungi dengan hati yang jernih, tidak pernah lahir sebagai kumpulan rumah semata.
Ia adalah selembar kain batik yang hidup ditulis perlahan oleh waktu, diwarnai oleh doa, dan disempurnakan oleh akhlak manusia yang tinggal di dalamnya.
Tidak semua orang mampu membaca desa dengan cara ini.
Sebagian melihatnya hanya sebagai wilayah administratif, angka statistik, atau peta pembangunan yang menunggu anggaran.
Padahal, desa memiliki bahasa yang lebih dalam bahasa simbol, makna, dan sejarah.
Dan batik adalah metafora paling jujur untuk membaca peradaban desa.
*Setiap Kampung adalah Motif*
Dalam selembar batik, tidak pernah ada satu motif yang berdiri sendiri.
Keindahan justru lahir dari keberagaman pola yang saling mengisi, bukan saling meniadakan.
Begitu pula sebuah desa.
Desa Panca Mukti, misalnya, bukan sekadar nama geografis, melainkan pertemuan sejarah.
Ia terdiri dari lima kampung:
Banyumas, Magelang, Pati, Semarang, dan Pekalongan lima nama yang bukan hanya penanda asal-usul, melainkan ingatan kolektif.
Setiap kampung membawa cerita:
cara bertani, cara beribadah, cara bertutur, bahkan cara diam.
Banyumas dengan kesederhanaannya, Magelang dengan keteduhan tradisi, Pati dengan ketekunan, Semarang dengan keterbukaan, dan Pekalongan dengan kehalusan rasa batiknya.
Jika desa dipaksakan menjadi seragam, ia kehilangan jiwanya.
Namun jika perbedaan itu dirangkai sebagai prinsip hidup, maka desa tumbuh sebagai peradaban, bukan sekadar permukiman.
Inilah tasybīh yang harus dipahami:
desa bukan dicat satu warna, tetapi dirajut dari banyak motif.
*Setiap Rumah adalah Titik Malam*
Dalam proses membatik, titik-titik malam yang kecil itulah yang justru menentukan arah motif.
Tanpa titik, garis kehilangan pijakan.
Begitu pula dalam membangun desa.
Rumah bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang pembentukan akhlak.
Maka pembangunan pertama yang harus ditegakkan bukanlah jalan atau gedung, melainkan keluarga.
Keluarga yang *sakinah* tenang, *mawaddah* hangat, dan *warahmah* penuh kasih.
Jika rumah retak, desa hanya akan menjadi peta tanpa makna.
Jika rumah kuat, desa mampu bertahan dari badai zaman.
Inilah kināyah peradaban:
negara besar lahir dari rumah-rumah kecil yang dijaga dengan cinta dan nilai.
*Setiap Warga adalah Garis Takdir*
Tak ada satu garis pun dalam batik yang berjalan sendiri.
Ia saling mengikat, saling menahan, saling menguatkan.
*Begitulah manusia di dalam desa*
Setiap warga membawa takdirnya masing-masing, namun takdir itu tidak berdiri terpisah.
Ia bertaut dalam satu kain kehidupan.
Dan Islam mengajarkan dengan jelas:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra‘d: 11)
Ayat ini bukan ancaman, melainkan undangan peradaban.
Takdir sosial bukan garis mati.
Ia bisa ditata ulang, diperhalus, bahkan diperindah.
Namun perubahan itu tidak dimulai dari luar, melainkan dari cara pandang.
*Mengubah Takdir Dimulai dari Mengubah Visi*
Dalam membatik, kesalahan paling fatal bukan pada warna, melainkan pada desain awal.
*Begitu pula desa*.
Jika visinya sempit, maka kebijakan akan dangkal.
Jika visinya hanya mengejar proyek, maka pembangunan akan cepat rusak.
Mengubah takdir desa harus dimulai dengan mengubah visi:
dari sekadar membangun fisik menjadi menumbuhkan peradaban.
Inilah pesan halus namun tegas bagi kementerian desa PDT *”Bangun Desa, Bangun Indonesia”* dan pemerintah daerah yang hari ini mengusung slogan
*”Membangun dari Bawah.”*
Bangun desa atau membangun dari bawah bukan berarti hanya turun ke desa, memotret kegiatan, lalu kembali ke meja kekuasaan.
Membangun dari bawah berarti:
mendengar sebelum memerintah, memahami sebelum merancang, dan mendampingi sebelum menilai.
Seperti membatik
tidak bisa tergesa, tidak bisa dipaksa.
*Penutup: Desa sebagai Doa yang Sedang Ditulis*
Desa adalah doa panjang yang sedang ditulis oleh warganya sendiri.
Pemerintah bukan penulis utama, melainkan penjaga agar doa itu tidak terhapus.
Jika desa diperlakukan sebagai kain murahan, ia akan cepat robek.
Namun jika desa dihormati sebagaimana batik pusaka, ia akan diwariskan lintas generasi.
Dan kelak, ketika orang bertanya bagaimana peradaban Indonesia dibangun, jawabannya bukan pada gedung tinggi, melainkan pada desa-desa yang ditata dengan visi, dihidupi dengan akhlak, dan dirajut dengan cinta.
Karena sejatinya, peradaban besar selalu lahir dari selembar kain yang ditulis dengan kesabaran.
*Salam Literasi*
Penulis adalah Founder Kampung Batik Panca Mukti dan pernah menjadi Konsultan SDGs
(Selamet Imam Wahyudin)


















