Alaku
Alaku
Alaku

*PLAYMAKER PURBAYA* Catatan Zacky Antony

*PLAYMAKER PURBAYA* Catatan Zacky Antony

*MENKEU* Purbaya Yudhi Sadewa tiba-tiba menjelma menjadi primadona baru. Dia dipuja. Meski ada pula yang mencibir. Baru satu setengah bulan menjadi menteri, popularitasnya mengalahkan menteri-menteri yang sudah lebih lama bekerja dalam kabinet Merah Putih.

Alaku

Popularitas Purbaya bahkan mengalahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dalam beberapa hal, Purbaya yang dijuluki Rocky Gerung cuma “kasir Negara” justru lebih Menko dari Menko-nya sendiri.

Purbaya membuktikan dirinya bukan sekedar bendahara, tapi sekaligus playmaker yang mengatur ke mana uang mau dialirkan. Dan ini, dia juga meracik strategi.

Terakhir dia memangkas TKD (Transfer Keuangan Daerah) yang bikin para kepala daerah menjerit-jerit. Dalam APBN 2026, alokasi anggaran TKD sebesar Rp 693 triliun. Atau terpangkas Rp 226 triliun dari anggaran TKD di APBN 2025 yang mencapai Rp 919 triliun.

Kebijakan itu berdampak signifikan bagi keuangan Pemda. Pemprov Sumut misalnya, terpangkas TKD Rp 1,1 triliun. TKD Jawa Barat terpotong Rp 2,5 triliun, Jambi Rp 1,3 triliun, Maluku Utara Rp 3,5 triliun, Jawa Timur Rp 2,8 triliun, Bengkulu Rp 347,9 miliar, Sumbar Rp 533 miliar.

Karena pemotongan tersebut, Purbaya digeruduk 18 gubernur. Intinya, mereka menolak pemotongan TKD. Tapi _the show must go on_. Purbaya balik menyuruh para gubernur memperbaiki kualitas belanja di daerah.

Bukan rahasia lagi banyak dana APBD dikorupsi, belanja tidak tepat sasaran, mark up pengadaan, dipakai poya-poya atau mubazir. “Saya bilang sih ya Anda beresin aja dulu belanjanya dan buat kesan yang baik dulu,” kata Purbaya usai didatangi para gubernur.

Seperti Xavi Hernandez playmaker Barcelona, Purbaya memegang kendali permainan. Dia mengoper bola, mengumpan, menerima bola lagi, melihat posisi kawan, meliuk-liuk diantara lawan, sampai mengeksekusi penalti.

Lebih dari itu, dia juga ikut berteriak menyemangati kawan-kawan setim agar lebih giat mengejar bola, tapi juga disiplin menjaga pertahanan agar tidak jebol.

Kerja kerasnya membuat puas sang manajer yang mengamati dari luar lapangan. Yang dia kerjakan sepertinya melebihi ekspektasi. “Kamu udah profesor ya,” tanya sang manajer saat acara penyerahan uang Rp 13,2 triliun hasil sitaan korupsi CPO di Kejagung.

Purbaya bukan profesor. Dia jebolan Teknik Elektro ITB. Tapi gelar master dan doktor diraih di luar negeri Universitas Purdue, Indiana, Amerika Serikat. Usianya 61 tahun. Kelahiran Bogor 7 Juli 1964.

Dia dilantik Presiden Prabowo sebagai Menkeu 8 September 2025. Artinya belum genap dua bulan masuk kabinet. Namun sepak terjangnya menusuk relung-relung birokrasi yang paling dalam yang biasanya tidak ada orang berani menyentuh.

Purbaya menolak membayar utang Whoosh (Kereta Cepat Jakarta – Bandung) dari APBN. Menurutnya, itu tanggungjawab Danantara karena lembaga besutan Prabowo itu menerima seluruh dividen dari BUMN.

Dia nggak perlu konsultasi dengan Menko Perekonomian untuk menjawab masalah itu. Nama Menko Airlangga dan menteri lain seolah “tenggelam”. Suatu hari seusai rapat, Purbaya lah yang menghadapi wartawan. Menteri-menteri lain termasuk Menko-Menko “kabur”.

Purbaya terang-terangan menolak membiayai Family Office usulan Luhut B Panjaitan, dari APBN. Jarang ada menteri berani terang-terangan menolak omongan Luhut. Jenderal paling berpengaruh selama sepuluh tahun terakhir di kabinet Jokowi.

Luhut sekarang masih menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Dia juga minta pemerintah menyuntik dana APBN Rp 50 triliun ke INA (Indonesia Investement Authority).

Tapi Purbaya ringan saja menolak. “Saya nggak mau kasih uang ke sana,” katanya.

Saat sidang kabinet 20 Oktober lalu, Purbaya dan Luhut terekam tidak saling tegur sapa. Kelihatannya, kali ini sang playmaker tidak mau dikendalikan oleh sang jenderal.

Itulah Purbaya. Gaya komunikasinya ceplas-ceplos tapi substantif. Semua dia kritik. Tak hanya Luhut dibuat masam.

Dia juga mengkritik Danantara yang terlalu menggantungkan investasi pada instrumen obligasi yang kurang produktif.

Di awal usai dilantik jadi Menkeu, Purbaya membuat terobosan dengan mengucurkan dana Rp 200 triliun dari Rp 400 triliun yang tersimpan di Bank Indonesia. Uang Rp 200 triliun itu digelontorkan ke lima bank Himbara untuk disalurkan ke sektor riil. “Supaya ekonomi jalan,” katanya.

Kebijakan tersebut memposisikan Purbaya antitesa dari Sri Mulyani. Sekaligus juga mencerminkan perbedaan menteri laki-laki yang berwatak agresif dan menteri perempuan yang cenderung hati-hati dan hemat.

Sri Mulyani suka menyimpan. Ciri kapitalis. Tapi Purbaya lebih suka mengalirkan agar sektor riil kecipratan. Ini ciri sosialis.

Ibarat skema pertandingan sepakbola, Sri Mulyani cenderung formasi bertahan. Kalau Rp 400 triliun disimpan, negara punya ketahanan fiskal yang kuat. Dengan pertahanan berlapis, APBN sulit jebol.

Sebaliknya, Purbaya pakai skema formasi menyerang. Filosofinya, uang jangan disimpan, tapi harus dialirkan. Tentu ada risiko. Dia memilih mengambil jalan yang berisiko. Ketimbang main aman.

Sang manager ternyata setuju skema racikan Purbaya. Menyerang tapi tetap menjaga keseimbangan bertahan. Maka, 200 digelontorkan dan 200 sisanya disimpan. Toh, serangan masih bisa lewat sayap. Maka, dibidiklah dana-dana menganggur. Uang yang tidak terpakai akan ditarik. TKD dikurangi dan seterusnya.

Purbaya adalah fenomena baru di kalangan pejabat Indonesia yang umumnya jaim, main aman, suka cari muka, dan lebih mikir urusan diri sendiri.

_Penulis adalah mantan Pemred Rakyat Bengkulu, mantan Ketua PWI Bengkulu dan sekarang Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat_

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *