“POLITIK IJON & MP BAKAL
MENYERUAK DI PILKADA 2024″
Oleh : Elfahmi Lubis*
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi yang terjadi selama proses webinar via zoom meeting conference yang membedah isu “menakar dukungan Parpol dan elektabilitas bakal calon gubernur Bengkulu di Pilkada 2024”.
Saat itu salah satu narasumber melontarkan joke segar bahwa kunci kemenangan dalam kontestasi Pilkada itu masih sangat ditentukan oleh “isi tas”. Joke ini sudah sangat familiar dikalangan para politisi dan teman-teman di volunteer politik.
“Isi tas” sebenarnya makna kiasan atau hiperbola yang menunjukkan bahwa bagaimana praktik politik transaksional dan massifnya permainan money politics dalam setiap Pemilu/Pilkada di negeri ini. Oleh sebab itu ada anomali dalam politik, tidak perlu anda berintegritas, jujur, kapabel, aksesibilitas, dan gelar akademik berderet, kalo anda tidak punya uang banyak, maka anda tidak akan terpilih dalam kontestasi Pilkada. Tidak jarang juga ada calon kepala daerah yang blak-blakan ngomong bahwa dia terpilih menghabiskan dana puluhan dan bahkan ratusan miliar. Sementara untuk menjadi bupati/walikota ada yang sampai menghabiskan dana puluhan miliar. Sungguh tidak masuk akal dan benar-benar praktik yang membunuh demokrasi secara telak, tapi itulah realitas politik yang terjadi hari ini.
Bagaimana tidak, akibat praktik kotor ini Pilkada telah menjadi milik para pemodal dan oligarki politik para elit lokal. Nyaris tidak ruang bagi orang-orang berintegritas dan kompeten untuk bisa berkontestasi dalam sirkulasi elit lokal, penyebabnya karena tidak punya “isi tas” yang cukup. Soal “isi tas” benar-benar memiliki daya rusak yang amat dahsyat bagi proses demokrasi, kira-kira sama dahsyatnya kayak bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Politik transaksional tidak saja mempengaruhi keputusan atau pilihan politik rakyat di akar rumput tapi lebih jauh dari telah menyebabkan terjadinya moral hazard di masyarakat.
Politik transaksional juga dalam praktiknya dijadikan instrumen oleh calon tertentu untuk menutup ruang dan celah bagi calon lain yang berkualitas dan berintegriras untuk ikut terlibat dalam sirkulasi elit lokal melalui Pilkada. Yakni, dengan cara melakukan aksi borong Parpol pendukung. Dalam banyak kasus Pilkada di Indonesia, terjadi fenomena calon tunggal atau bersaing dengan kotak kosong. Ini terjadi karena seluruh Parpol yang memiliki kursi maupun tidak memiliki kursi di DPRD memberikan tiket politik pencalonan kepada satu pasangan calon. Di Bengkulu hal ini pernah terjadi dalam Pilkada 2020 lalu disalahsatu kabupaten. Namun kejadian anomali juga pernah terjadi, dimana calon tunggal dalam Pilkada dikalahkan oleh kotal kosong, seperti dalam Pilkada Kota Makassar.
Fakta lain, ada pasangan calon tidak kebagian parpol pengusung karena tidak mampu “membayar” mahar politik yang sudah ditentukan. Walaupun jika ditanya kepada Parpol pasti jawabnya bahwa mereka tidak pernah menerapkan politik tanpa mahal, itukan hanya narasi life service saja. Soalnya, urusan mahar politik itu pasti terjadi di ruang gelap dan dipanggung belakang.
Selain praktik money politics, dalam Pilkada Serentak 2024 bakal marak politik ijon. Praktek ini bukan saja terjadi dalam proses penegakan hukum, tapi juga dipraktekkan dalam dunia politik praktis, seperti dalam Pemilu atau Pilkada. Intinya, para elit politik yang akan bertarung dalam kontestasi Pilkada melakukan praktik ijon untuk mendapatkan logistik sebagai modal untuk memenangkan election. Hal ini dilakukan oleh para elit politik lokal dengan pelaku bisnis. Para pebisnis menunggangi dan mengendalikan para politisi melalui pembiayaan pencalonan dan kampanya (modal finansial) dan para politisi menembusnya dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan.
Akibatnya, hari ini politik bukan lagi usaha menggapai kehidupan yang lebih baik seperti yang dicita-citakan Plato dan Aristoteles, dimana menganggap politics sebagai usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab dan hidup dalam moralitas yang tinggi.
Pada akhirnya, momen Pilkada serentak ini lebih dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan serta menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan pelaku bisnis yang berkepentingan untuk mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanggengkan bisnis mereka di daerah. Pertemuan kepentingan antara politisi dan pelaku bisnis inilah yang menjadi celah terjadinya praktik ijon politik.
Momen politik elektoral yang hanya menjadi ajang perebutan jabatan dan menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan bisnis, pada akhirnya akan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak demokrasi itu sendiri. KontraS melihat bahwa pengekangan atas hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi sangat rawan terjadi di Pilkada Serentak 2024 ini. Hak dasar ini lah yang menjadi batu penjuru (corner stone) bagi hak-hak lainnya, baik hak sipil-politik maupun hak Ekosob. Hilangnya kebebasan berekspresi dan pembatasan informasi dalam konteks politik elektoral, menutup peluang bagi masyarakat untuk seacara demokratis memantau kekayaan daerah yang ada, yang berpotensi dijadikan ijon politik untuk membiayai Pilkada.
Dalam dunia politik biaya “pandir” atau kerennya biaya “entertainment” itu sangat besar, untuk sekedar kongkow-kongkow ngopi atau ngebir saja di club malam atau cafe, seorang politisi yang punya hajat ikut kontestasi politik, harus mengeluarkan uang sampai puluhan juta dalam waktu 1 sampai 2 jam. Oleh sebab itu jangan heran jika gubernur atau bupati/walikota dan atau anggota legislatif itu, jika terpilih memiliki roadmap (peta jalan) seperti ini, tahun pertama dan kedua orientasinya bagaimana mengembalikan modal atau cost politik yang sudah dikeluarkan saat Pilada atau Pileg.
Di tahun-tahun awal masa jabatan mereka inilah biasanya rawan OTT atau tersangkut perkara korupsi sejenisnya. Mulai minta setoran fee proyek pembangunan infrastruktur pemerintah, jual beli jabatan birokrasi, sampai soal pengurusan perizinan. Sementara untuk teman-teman di legislatif, biasanya “menggasak” SPPD, bermain mata dengan proyek pemerintah, dan perselingkuhan dengan eksekutif dalam pembahasan dan pengesahan APBD. Lalu bagaimana caranya memutuskan habis rantai politik transaksional dalam memperebutkan jabatan politik? Tidak ada lain kecuali dengan penegakan hukum yang tegas, pembuatan regulasi yang ketat untuk tidak memberikan ruang bolong sedikitpun bagi praktik money politics, dan pengawasan partisipasif masyarakat dan penyelenggara Pemilu.
Wassalam.
*Elfahmi Lubis, Akademisi UMB dan Peneliti di Pusat Kajian Agama, Politik dan Peradaban*
Di rilis di Media Darah Juang Online pada Minggu, tanggal 12 Mei 2024. (Red 01)