Alaku
Alaku
Alaku Alaku

SAMA-SAMA UNTUK KEPENTINGAN *Sebuah Renungan Cinta untuk NU*

*SAMA-SAMA UNTUK KEPENTINGAN*

*Sebuah Renungan Cinta untuk NU*

Alaku

Oleh: Slamet Imam Wakhyudin

 

Aku lahir dari rahim kultur Nahdlatul Ulama sebuah rumah besar yang tanahnya telah menjejak lebih dulu di dada sebelum aku menjejak bumi. Dari debu langgar, dari bau karung beras yang disimpan untuk hajatan kampung, dari suara tahlil yang bergema setiap malam Jumat, aku tumbuh dengan NU bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai denyut yang memompa hidupku.

Bapakku seorang anggota BANSER pernah berdiri di garis depan ketika bangsa ini diguncang kelam oleh rongrongan PKI. Beliau juga pernah memegang amanah sebagai Ketua Tanfidziyah NU di tingkat ranting.

Dari beliaulah aku belajar bahwa menjadi warga NU bukan sekadar identitas:

ia nafkah ruhani; warisan yang turun lebih halus daripada nasihat, lebih dalam daripada kata, dan lebih setia daripada janji.

 

*Idham Chalid dan Fikih Keteladanan*

Sejak kecil aku dikenalkan pada sosok sederhana namun menjulang: K.H. Dr. (H.C.) Idham Chalid Ketua Umum PBNU terlama, pemimpin bangsa yang dihiasi kesahajaan. Meskipun pernah menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, beliau tetap memilih hidup sebagai rakyat jelata:

Menolak fasilitas mewah, menolak jarak dari umat, menolak kemegahan yang tak pernah benar-benar dibutuhkan.

Zuhudnya bukan dongeng; integritasnya bukan legenda.

Wajahnya kini diabadikan dalam uang kertas, namun yang sebenarnya abadi bukanlah gambar itu melainkan tutur hidupnya.

Bahwa kemuliaan bukan soal jabatan, tetapi tentang bagaimana seorang hamba menjaga jarak antara dirinya dengan dunia.

 

*Jejak Awal di IPNU*

Maka tak mengherankan, ketika aku menginjak remaja pada awal 1990-an, namaku disebut dalam rapat anggota sebagai Ketua PR IPNU. Seperti benih yang dilemparkan ke ladang subur, amanah itu tumbuh menjadi perjalanan yang panjang:

Dari Ketua Departemen Pendidikan dan Kaderisasi PAC, hingga kemudian di PC.

 

*Hari-hariku dipenuhi MAKESTA dan LAKMUD*.

Dua puluh tujuh PAC masing-masing dengan satu sekolah Ma’arif atau lebih berlomba-lomba menyalakan bara kaderisasi.

Kami muda, kami letih, namun kami berbahagia, sebab kami tahu:

Setiap kader yang lahir adalah bunga yang tumbuh dari cinta para kiai.

 

*NU di Era Luka dan Perlawanan*

Tahun 1990-an adalah masa ketika NU berdiri sebagai oposisi moral terhadap Orde Baru. Di bawah Gus Dur, NU menjadi suara jernih yang menolak untuk dibungkam.

Dan sebagai anak NU paling bungsu, aku merasakan gelombang itu mengguncang hingga ke ranting.

Kami harus menyusun strategi agar IPNU–IPPNU tetap hidup, tetap diterima, tetap mendapat ruang untuk bernafas.

Di setiap pertemuan, kami melantunkan Mars IPNU.

Syairnya bukan sekadar nyanyian; ia adalah api yang membakar pengabdian:

“Berpedoman kita belajar,

Berjuang serta bertakwa…

Ayo maju pantang mundur,

Dengan rahmat Tuhan kita perjuangkan…”

Lagu itu masuk ke dalam tulang. Ia mengajari kami bahwa perjuangan bukan menunggu fasilitas tetapi memikul niat.

 

*Strategi Demi Bertahan*

Untuk mendapat balai desa, ketua IPNU harus merangkap jabatan minimal sebagai Sekretaris Sub Rayon AMPI sebuah organisasi kepemudaan underbow GOLKAR si single majority.

Untuk mendapat akses anggaran, jabatan Ketua Karang Taruna harus digenggam, sebab hanya melalui jalur itulah kegiatan pemuda desa mendapat sokongan dari Bangdes, Cabang Dinas Sosial, dan Departemen Sosial.

Semua itu bukan demi jabatan pribadi.

Semua itu demi IPNU–IPPNU agar hidup, bertumbuh, dan berdaya.

Demi memastikan bahwa kaderisasi tidak mati oleh semangat yang setengah.

Kami belajar satu hikmah:

“Organisasi hanya akan besar bila dijalankan dengan niat yang lurus.

Langkahnya jujur, hatinya tidak condong kepada diri sendiri.”

 

*Ketika Zaman Berganti, Niat pun Mengabur*

Namun hari ini, ada pemandangan yang membuat hati getir.

Ada yang masuk NU bukan untuk merawat, tetapi untuk meraup.

Bukan untuk mengabdi, tetapi untuk meniti panggung kekuasaan.

Struktur organisasi dijadikan batu loncatan.

Ketika kursi didapat, NU ditinggalkan.

Ketika ditanya, jawabannya sama:

sibuk, tidak ada anggaran, nanti saja…

Apa jadinya jika NU hanya menjadi tunggangan?

Apa jadinya jika rumah besar ini dijadikan korban oleh ambisi kecil ?

Dalam balāgho, keadaan ini disebut:

fasād al-niyyah yu’addi ilā fasād al-jamā‘ah

rusaknya niat akan merusak jamaah.

Dan kondisi yang tampak di PBNU kini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.

Ia buah dari akar yang mulai getir—akar niat yang tidak lagi jernih.

 

Renungan Cinta untuk Kita Semua

Tulisan ini bukan teguran, bukan pula penghakiman.

Ia adalah cermin kecil agar kita menatap diri dengan jujur sebelum mengabdi pada NU.

Sebelum melangkah, luruskanlah niat.

Sebelum menerima amanah, jernihkanlah hati.

Sebab NU bukan panggung hiburan;

NU adalah rumah perjuangan yang memelihara air mata, keringat, darah, dan cinta para pendahulu.

Jangan sampai NU hanya menjadi korban dari ambisi yang menyamar sebagai pengabdian.

 

*Salam Literasi. Selamat Jum’at Berkah*

 

Penulis adalah Mantan Ketua Pimpinan Ranting IPNU Petahunan 1990–1994.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *