Alaku
Alaku
Alaku Alaku

Tambang Emas: Degradasi Ekologis dan Bisnis, Siapa Bermain? oleh Elfahmi Lubis

Elfahmi Lubis (Penulis)

Tambang Emas: Degradasi Ekologis dan Bisnis, Siapa Bermain? 

Oleh : Elfahmi Lubis (Akademisi/Advokat) 

Alaku

 

Polemik soal rencana tambang emas di kawasan Bukit Sanggul Seluma, terus menuai pro dan kontra. Setidaknya, ada beberapa pihak berkepentingan yang berkelindan dalam polemik ini, yaitu pertama pihak perusahaan tambang sendiri yang berusaha keras agar proses eksplorasi segera dimulai, soalnya semakin berlarut proses penambangan dilakukan akan berdampak pada kerugian perusahaan. Kedua, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Pemerintah Kabupaten Seluma, yang sejauh ini punya kecenderungan setuju jika proses eksplorasi dan aktivitas penambangan segera dimulai (walaupun terkesan malu-malu), sepertinya sedang mencari momentum politis yang tepat untuk mendeklarasikan keputusannya. Soalnya, keputusan gegabah akan memicu polemik berubah menjadi konflik terbuka dengan kelompok anti tambang. Ketiga, pihak masyarakat yang diwakili oleh kelompok masyarakat sipil yang dari awal sudah menyatakan sikap menolak beroperasinya tambang emas karena pertimbangan kerusakan ekologis, kultural, ekonomi, dan sosiologis masyarakat disekitar kawasan tambang.

 

Menariknya, ketika pihak yang bermain di circle polemik dan konflik ini terus melakukan berbagai strategi dan aksi untuk mencapai tujuan dan kepentingannya. Pihak perusahaan berkolaborasi dengan pemerintah daerah, terus membangun narasi dan gerakan bahwa operasionalisasi tambang harus secepatnya dilakukan, sehingga nilai manfaatnya secara ekonomis bagi masyarakat dan pemerintah bisa segera diwujudkan.

 

Untuk itu berbagai upaya pendekatan simbolik yang dikemas dalam bentuk uji publik atau sosialisasi terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak untuk sekedar memperoleh sebuah stempel legitimasi. Bahkan, terkadang proses memperoleh legitimasi publik tersebut, terkesan konyol dan sarat “dramatisasi”. Baik dalam pemilihan figur atau tokoh legitimasi maupun dalam membangun narasi komunikatif. Peristiwa “penggerudukan” acara uji publik disebuah hotel beberapa waktu lalu oleh kelompok masyarakat sipil dan aktivis mahasiswa anti tambang, menunjukkan gugatan atas legitimasi forum tersebut.

 

Sementara pihak pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, sebagai regulator sekaligus penerima manfaat ekonomis langsung, sebenarnya ingin agar perusahaan tambang ini cepat beroperasi. Hanya saja strategi yang dibangun cukup cerdas, terutama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Melalui bargaining “surat rekomendasi”, gubernur mencoba mengatur gendang untuk irama tarian. Pemerintah Provinsi sadar betul dalam persoalan ini mereka harus menerapkan prinsip kehati-hatian karena harus berhadapan dengan masyarakat sipil yang anti tambang. Skenario ” Persetujuan” harus dibungkus rapi dengan kesan populis, sehingga dimata publik pemerintah provinsi dinilai masih berpihak pada isu ekologis walaupun semu.

 

Dalam kondisi dilematis ini saya melihat posisi masyarakat sipil serba tidak menguntungkan, karena terperangkap dalam dua kepentingan yang sebenarnya menginginkan tambang ini tetap beroperasi. Berada dalam narasi pihak tambang sama saja dengan tindakan bunuh diri, berarti melegalkan terjadinya ancaman ekologis di masa depan. Dan itu saya yakin tidak akan pernah dilakukan oleh kelompok sipil anti tambang, apapun kompensasi yang ditawarkan.

 

Sementara itu ikut dalam arus narasi pemerintah provinsi, sama saja masuk jebakan “batman” karena mereka hanya akan dijadikan alat legitimasi untuk memperkuat nilai tawar dari sebuah kepentingan yang sama yaitu mendukung tambang beroperasi. Oleh sebab itu langkah yang paling strategis dan taktis yang harus dilakukan kelompok sipil anti tambang adalah konsisten dengan gerakan anti tambang dengan memperkuat konsolidasi ke seluruh kekuatan masyarakat dan mahasiswa (masyarakat kampus).

 

Penggalangan opini dan narasi ekologis dalam bentuk kampanye anti tambang yang massif adalah cara untuk membangun kesadaran kolektif kelompok civil society.

 

Keberadaan PT. Freeport di tanah Papua, sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak, bagaimana tambang tidak pernah berhasil mewujudkan janji kemakmuran dan kesejahteraan. Puluhan tahun biji emas dikeruk dari perut bumi Papua, dan entah sudah berapa ratus ton biji emas terampas. Tapi apa yang terjadi, rakyat Papua tetap dalam kemiskinan kemelaratan, kebodohan, dan tertindas. Keuntungan ekonomis tambang tidak menetes bagi kesejahteraan rakyat Papua. Mereka tetap hidup di gubuk-gubuk reot ditengah gemerlap kemewahan cahaya lampu dari pabrik Freeport dan elit penguasa Papua.

 

Isu Ekologis Vs Isu Ekonomis

 

Konflik antara masyarakat, petani dengan perusahaan tambang, selalu berulang. Bahkan, eskalasi konflik yang terjadi setiap tahun terus mengalami peningkatan. Sepertinya tidak upaya yang nyata dan komprehensif untuk mengurai akar persoalan konflik serta mencari solusi permanen untuk mengatasinya. Pemerintah seperti gamang dan cenderung gagap dalam setiap menyelesaikan konflik tambang dengan masyarakat.

 

Sikap gamang ini tidak jarang disinyalir karena berkelindannya kepentingan atas nama “mengamankan” investasi para investor dengan kewajiban negara memproteksi hak-hak rakyat yang tanah dan lingkungannya terampas atau terenggut oleh korporasi besar. Pemerintah dalam banyak kasus dituding selalu tidak berpihak pada rakyat dalam relasi konflik yang terjadi.

 

Akibatnya, ditengah keputusasaan itu tidak ada pilihan lain bagi rakyat kecuali menggunakan kekuatan moral dalam bentuk aksi demonstrasi dengan dukungan masyarakat sipil untuk memaksa pihak yang berkepentingan turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi. Dilapangan rakyat juga harus berhadapan dan bergesekan dengan aparat keamanan, yang dalam kenyataannya kondisi ini semakin menambah runyam dan memperburuk konflik yang terjadi.

 

Dalam melihat taksonomi konflik yang terjadi, konflik pertambangan dengan rakyat, sebagai akibat relasi hak yang tidak berkeadilan. Korporasi yang merasa sudah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), seolah-olah boleh melakukan apa saja, termasuk melakukan perusakan lingkungan dan merampas hak-hak adat dan komunal masyarakat.

 

Dalam konteks ini terjadi relasi kuasa dan dikuasai. Secara teori jika terjadi pola relasi yang tidak sama, maka pasti akan melahirkan konflik. Kehadiran negara itu penting ketika terjadi relasi yang tidak berkeadilan seperti ini, dalam rangka untuk memastikan tidak satu pun pihak yang dirugikan, baik korporasi maupun rakyat. Disini kalo kita lihat peran pemerintah “mandul”.

 

Penanganan konflik pertambangan membutuhkan rasionalitas yang tinggi. Peningkatan konflik juga dapat diketahui dari tingginya peningkatan kegiatan eksplorasi. Dari sini kelihatannya ada korelasi atau keterkaitan antara peningkatan kegiatan eksplorasi dengan konflik yang terjadi. Kendatipun demikian, konflik terjadi bukan karena adanya kegiatan eksplorasi melainkan kegiatan yang terkait eksplorasi yang menimbulkan konflik.

 

Penambahan investasi sektor pertambangan selalu menyebabkan terjadinya konflik. Untuk memahami penyebab terjadinya konflik pertambangan, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam kegiatan pertambangan ada yang disebut The Principle of Social Justice. Prinsip tersebut pada intinya mengharuskan semua orang berhak atas persamaan untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik, ekonomi, serta kondisi lain. Adapun kelima prinsip tersebut ialah, Access (mendapatkan akses), Equity (ketidakberpihakan), Diversity (Keanekaragaman), Participation (Penyertaan/partisipasi), Human right (Hak Asasi Manusia). Prinsip tersebut harus dipenuhi untuk mencapai keadilan sosial. Prinsip tersebut telah berkembang menjadi filosofi, teori hukum, bahkan telah menjadi naluri.

 

Adapun yang dimaksud dengan the principle of social justice dalam hal pemanfaatan sumber daya (kekayaan) alam mengutip Rachman Wiriosudarmo (5/112020) dalam Kuliah Khusus Pertambangan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), sebagai prinsip dalam kaitan kemanfaatan. Dalam hal kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu wilayah yang dikembangkan dengan biaya sosial maka setiap orang harus mendapat kemanfaatan. Pemerintah adalah pihak yang berkewajiban memberikan kemanfaatan tersebut kepada masyarakat. Apabila pemerintah gagal memberikan kemanfaatan, maka masyarakat akan menuntut kemanfaatan itu dari pengembang kekayaan alam

 

Konflik tidak terjadi begitu saja tapi ada penyebabnya. Ada faktor struktural dan ada faktor kontekstual serta faktor yang mendorong konflik itu sendiri. Dari situ terlihat pemicu banyaknya konflik pertambangan. Faktor struktural terdiri atas kebijakan pemerintah yang liberal dan ekstrativist (intervionist measures).

 

Kebijakan yang liberal akan menyebabkan konflik antar korporasi dan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh korporasi terlampau bebas sementara peran pemerintah tidak hadir. Di sisi lain, konflik terjadi karena pemerintah lebih banyak fokus pada pendapatan finansial sehingga kepentingan masyarakat terabaikan.

 

Adapun kebijakan yang extractivist atau interventionist measure dapat menyebabkan terjadinya konflik antara pemerintah dengan korporasi serta pemerintah dengan masyarakat. Konflik bisa terjadi karena korporasi mendapat tekanan dari pemerintah, karena adanya kepentingan nasional yang menjadi prioritas serta karena kepentingan masyarakat terabaikan.

 

Faktor kontekstual lebih disebabkan karena faktor pertanahan atau persoalan lahan, faktor lingkungan hidup dalam hal ini ialah pencemaran, faktor kemiskinan atau kesenjangan sosial. Faktor kontekstual lainnya disebabkan oleh faktor budaya dan tatanan sosial, politik lokal dan pertentangan kepentingan dalam masyarakat.

 

Pemicu konflik dalam sektor pertambangan itu sering dikarenakan adanya ingkar dari perjanjian, permintaan yang meningkat (the rising demand), kepentingan pihak luar (provokasi), faktor echo effect (efek gema), ada faktor respon negatif oleh pemerintah/parlemen serta faktor the rising demand dari masyarakat. Masyarakat yang dimaksud tentunya masyarakat di sekitar pertambangan yang terdampak. (Red 01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *