Alaku
Alaku

Anak Pisang Rang Minang

  • Bagikan

Masnaidi.B, S.Kom, M.A.P Khatib Batuah

Tokoh Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai

Alaku

Dalam struktur hubungan kekerabatan di suku minang ada istilah Anak Pisang. Jika kita tinjau dalam struktur hubungan kekerabatan, anak pisang adalah anak yang orangtua laki-lakinya (Ayah) berasal dari suku di minang dan orangtua perempuannya (ibu) berasal dari suku di luar minang. Anak ini lahir dari pernikahan suku minang dengan suku lain diluar minang. Hal ini sangat banyak terjadi sejak zaman dahulu. Hal ini dapat kita Analisa dari Novel karangan Buya Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Zainuddin yang ayahnya berasal dari nagari Batipuh merantau ke negeri seberang (Makasar), kemudian menikah dengan perempuan disana sehingga lahirlah Zainuddin hasil dari buah cinta mereka. Setelah dewasa Zainuddin mencari kampung halaman Ayahnya di Batipuah dan akhirnya tinggal dirumah Mande-nya (Saudara Perempuan Ayahnya).

Minang dengan system matrilineal mengatur bahwa anak pisang tidak termasuk anggota suku ayahnya sehingga tidak memiliki hak ulayat secara adat dan tidak dapat menggunakan gelar adat dalam pasukuan bapaknya tersebut. Zainuddin yang tinggal dirumah Mande-nya tidak mendapatkan pengakuan sebagai anggota suku sehingga tidak bisa menyandang gelar adat dan tidak mendapatkan hak ulayat dalam suku Bapaknya. Zainuddin diberi tempat tinggal satu kamar dengan sepupunya, hal ini dikarenakan laki-laki di Minang tidak mendapatkan ruang khusus dalam rumah ibunya. Laki-laki minang adalah penjaga harta pusaka tinggi kaumnya namun kepemilikan berada pada perempuan yang ada di Kaumnya. Harta pusaka tinggi hanya dapat dimamfaatkan dan tidak dapat diperjual belikan (Maha Indak Makan Bali, Murah indak makan pinto) yang artinya Mahal tidak bisa dibeli, murah tidak bisa diminta. Minang mengenal satu lagi tipe harta yaitu harta pusaka rendah, dimana pusaka rendah ini adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha dari pasangan suami istri baik berupa beli, sewa, gadai dan lain-lain. Kalo Pusaka rendah ini bersifat kepemilikan dimana hak warisnya berpedoman pada aturan yang dipakai dalam agama dan negara.  

Zainuddin sebenarnya memiliki peluang untuk mendapatkan haknya sebagai anak keturunan minang melalui prosesi Adat Manjapuik Anak Pisang. Hal ini di lakukan dalam sebuah upacara adat yang dilaksanakan oleh keluarga saudara perempuan ayahnya dengan istilah Malu Sacupak Bareh. Dimana upacara dilaksanakan tergantung kemampuan ekonomi bahkan cukup secupak beras untuk makan bersama seraya memanjatkan doa kepada Allah. Seyogyanya Manjapuik Anak Pisang ini dilakukan sewaktu sang anak masih bayi/kecil. Tujuan dari prosesi adat ini adalah untuk mendeklarasikan bahwa anak tersebut sebagai anak dari Ayahnya yang bersuku A di Kaum tersebut sehingga dia dapat berinteraksi dengan leluasa dirumah Mande-nya serta kaum pihak keluarga bapaknya. Upacara ini juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang kekerabatan sang anak kepada semua kalangan secara luas. Terhadap Zainuddin Apakah sudah dilakukan upacara tersebut atau belum kita tidak dapat memastikannya.

Dalam mendapatkan pengakuan sebagai salah satu anggota Suku ada proses upacara Malakok di Minang. Upacara adat ini dilakukan untuk menompangkan Ibu beserta Zainuddin adik beradik kedalam suatu suku yang ada dalam kampung tersebut. Mereka diterima dan ditampung dalam struktur persukuan Minang (menjadi kemenakan di Minang) setelah membayar upeti adat dalam bentuk uang, barang, maupun hewan (Amir, 1997). Suku yang akan di Lakok-i tersebut harus yang tidak badunsanak dengan suku ayahnya sehingga tidak terjadi benturan suku/adat dalam hal Pantangan Kawin Badunsanak. Upacara adat malakok ini dilaksanakan oleh Ninik Mamak Kepala Kaum beserta anggota kaum tersebut dalam sebuah upacara Malakok dimana Cupak tagak nan diisi, limbago nan dituang seraya memanjatkan doa kepada Allah SWT. Zainuddin akan mendapatkan gelar suku dari suku yang dilakok-i saat menikah nanti.

Dalam hal hak ulayat, ada beberapa pola dalam adat di Minang salah satunya Ganggam bauntuk. Ganggam Bauntuakadalah peruntukan tanah ulayat kaum oleh mamak kepala waris kepada anggota kaumnya berupa hak pakai. Bagi anak kemenakan Minang yang memiliki istri dan anak dari suku diluar Minang, dimungkinkan untuk mendapatkan ganggam bauntuk ini baik dari kaum bapaknya maupun dari kaum yang sudah diLakok-i. Adat Minang sudah mengantisipasi kemungkinan terjadi perkawinan dengan pola ini dan sudah dibuatkan jalan keluarnya. Kehidupan masyarakat minang bersama keluarga dan anak istri dikampung maupun diperantauan tentu tidak akan sukses semuanya, tentu akan ada yang kurang beruntung. Bagi yang kurang beruntung ini maka sudah ada juga langkah antisipasi dalam adat Minang. “Adaik hiduik tolong manolong, adaik mati janguak manjanguak, adaiak lai bari mambari. Adaik indak salang manyalang (basalang tenggang). Ganggam bauntuak ini salah satu bentuk semangat kebersamaan/tolong menolong dalam adat minang guna mengarungi kehidupan.

Merantau yang sudah menjadi budaya bagi masyarakat minang memiliki dampak positif, yang salah satunya melahirkan kelompok anak pisang rang minang diseluruh dunia. Jika dilakukan pendataan tentu jumlahnya akan sangat besar, kelompok besar anak pisang ini mungkin masih ada yang statusnya belum dipertegas sebagai anak pisang rang minang. Bagi anak pisang, tentunya ini sangat mereka perlukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur kekerabatan dan adat di Minang, juga ini akan menjadi potensi yang luar bagi masyarakat minang. Potensi ini bisa dimamfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat minang (Sumatera Barat) dalam meningkatkan kesejahteraan. Sangat banyak anak pisang rang minang yang menjadi tokoh nasional maupun internasional. Kalau saja Zainuddin dalam novel itu dipertegas sebagai anak pisang rang Batipuah dan menikah dengan Hayati kemudian sukses diperantauan, tentunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan mengisahkan cerita lain.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *