Alaku
Alaku

Eksaminasi Minor Putusan PTUN Soal Tidak sah Pengangkatan Ketua MK Suhartoyo oleh Elfahmi Lubis

  • Bagikan
Elfahmi Lubis (Penulis)

Eksaminasi Minor Putusan PTUN Soal Tidak sah Pengangkatan Ketua MK Suhartoyo

Oleh : Elfahmi Lubis

Alaku

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dalam Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, dalam POKOK PERKARA:

1. Mengabulkan gugatan penggugat Anwar Usman untuk sebagian.
2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
3. Mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
4. Menyatakan mengabulkan permohonan Penggugat untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula.
5. Menyatakan tidak menerima permohonan Penggugat untuk dipulihkan/dikembalikan kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 seperti semula.
6. Menyatakan tdak menerima permohonan Penggugat agar menghukum TERGUGAT untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100,- (seratus rupiah) perhari, apabila TERGUGAT lalai dalam melaksanakan Putusan ini, terhitung sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
7. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi membayar biaya perkara sebesar Rp 369.000 (tiga ratus enam puluh sembilan ribu rupiah).

Terhadap putusan ini ada beberapa analisis atau eksaminasi minor yang dapat kita cermati, yaitu : Pertama, bahwa putusan PTUN Jakarta ini merupakan putusan pengadilan tingkat pertama yang belum inkrach atau berkekuatan tetap. Oleh sebab itu, masih terbuka bagi tergugat untuk melakukan perlawanan hukum melalui banding ke PTTUN , dan sampai ke upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali (PK). Oleh sebab itu putusan PTUN Jakarta belum bisa dieksekusi sampai memiliki kekuatan hukum tetap.

Kedua, putusan PTUN Jakarta sangat kompromistis dan mengabaikan aspirasi arus utama (mainstream) publik. Hal ini terlihat dari poin 4 dan 5 putusan MK, disatu sisi menolak memulihkan kedudukan Anwar Usman sebagai Ketua MK, tetapi dilain pihak mengabulkan untuk pemulihan harkat dan martabat Anwar Usman sebagai hakim konstitusi seperti semula. Putusan yang saling menegasi seperti ini jelas membawa beberapa implikasi hukum, diantaranya apakah putusan PTUN Jakarta membatalkan putusan MK atau membatalkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ?

Soalnya, amar yang menyatakan bahwa Anwar Usman dilarang menangani perkara Pilpres dan Pilkada 2024 yang berpotensi terjadi konflic of interest (konflik kepentingan) merupakan salah satu putusan MKMK. Dengan demikian putusan PTUN Jakarta telah melampaui kewenangan dan kompetensi absolutnya, karena putusan MKMK bukan obyek TUN. Keberadaan MKMK merupakan organ yang bersifat insidental bukan permanen dan dibentuk oleh MK ketika ada pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik hakim MK.

Ketiga, dari putusan PTUN ini, memaksa kita harus berpikir kembali apakah perlu meninjau ulang posisi hukum kelembagaan adhoc etik seperti MKMK, DKPP, dll. Soalnya, tidak memiliki legal standing ketika mengeluarkan putusan etik yang berimplikasi pada perampasan kedudukan, kehormatan, dan jabatan seseorang. Karena ketiadaan sifat memaksa putusan lembaga etik adhoc seperti MKMK, maka proses eksekusinya harus dilakukan lembaga formal seperti presiden yang jelas produk keputusannya merupakan obyek TUN.

Keempat, perlu dipikirkan oleh pembentuk UU dan pemerintah kedepan, untuk menformalkan (menghukumkan) kelembagaan etik sehingga keberadaannya tidak bersifat parsial dan produk putusannya secara hukum memiliki kekuatan eksekutorial yang dapat di challange oleh lembaga peradilan. Kalau tidak, maka kejadian serupa akan terus terjadi, ketika lembaga etik adhoc seperti MKMK mengeluarkan putusan yang sifatnya menghukum seperti memberhentikan atau mengurangi kewenangan jabatan seseorang, tapi pada proses eksekusinya harus diserahkan pada lembaga lain seperti presiden.

Lembaga etik tidak boleh berlindung dari kata-kata bahwa putusannya bersifat final dan mengikat. Ketika produk putusan sudah bersifat menghukum, maka setiap orang yang merasa dirampas/dirugikan harkat, martabat, dan kedudukannya melakukan perlawanan hukum.

Penulis termasuk orang yang setia dengan sikap bahwa lembaga non peradilan/quasy peradilan tidak boleh diberikan kekuasaan menghukum, tapi serahkan kewenangan itu pada embaga peradilan. Oleh sebab itu, jika lembaga etik mau putusannya memiliki kekuatan eksekutorial, maka harus menghukumkan etik. Semoga mencerahkan.

Tulisan ini di rilis pada media DJO pada hari Rabu, tanggal 14 Agustus 2024. (Red 01)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *