Alaku
Alaku

Ilmu Pulang “Dia Rukka Sombolinggi”

  • Bagikan

Ilmu Pulang

Oleh

Alaku

Catatan Ponsel Harry Siswoyo
AJI Bengkulu

“Sekolah-sekolah kita mengajarkan ilmu pergi. Ia membuat lupa kepada kampung. Itu kenapa, semakin tinggi pendidikan kita. Maka rasanya semakin tidak berguna ketika di kampung,” kata Rukka.

Suaranya merayap dalam temaram obor sabut berbahan bakar minyak tanah. Ucapan perempuan berambut cepak ini seperti menyambar pucuk-pucuk muda yang berkumpul di hadapannya sambil bersila.

Saya lupa kapan bertemu orang ini terakhir kali. Dan mungkin dia juga lupa kapan. Tapi kemarin kami bersua di meja kopi, di jejeran tenda, di depan sawah usai panen dan gundukan batu besar yang dijadikan tempat nongkrong bujang gadis di komunitas adat Napal Jungugh.

Rukka Sombolinggi . Sejak dulu, gaya bicaranya selalu melimpah semangat. Perawakannya persis seperti dulu. Kadang-kadang nyentrik, penuh dengan hiasan buatan tangan masyarakat adat. Paling yang berubah, dari perempuan asal Toraja yang kini didapuk menjadi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini cuma rambutnya. Cukup aneh melihatnya kalau dibuat cepak. Jadi makin tirus.

Tapi Rukka ya tetap Rukka. Mau bagaimana pun tampilannya. Di kepalanya tetap penuh dengan obrolan soal nasib masyarakat adat dan perjuangannya. Di tangannya jua hari ini ada lebih dari 2.000-an komunitas adat bernaung.

“Mulai dari umur lima tahun. Anak-anak kita sudah tercerabut dari akarnya (lewat sekolah). Karena itu, banyak yang kemudian besar justru merendahkan kampung mereka. Ada yang menganggap kampungnya tidak maju. Ilmu pertanian warisan leluhur dianggap salah-lah, orang kampung tidak berpengetahuan lah, dan lain-lain,” cerocos Rukka kembali melumbab di hadapan anak-anak muda beragam komunitas.

Saya sampai kelimpungan mencatat di ponsel. Cepat sekali orang ini berucap. Meski saya paham maksudnya. Tapi biar detail jadi saya catat persis ucapannya. Cuma dampaknya, memang ada beberapa yang ketinggalan.

Jam saya perhatikan hampir menuju pukul 00.00. Api di obor sabut juga mulai sayup-sayup, tanda minyak mulai mengering. Saya kesulitan melihat satu persatu raut anak muda yang duduk melingkar di depannya. Karena memang gelap sekali.

“Lihat Hawaai. Dulu sempat kehilangan bahasa dan ilmu navigasi. Padahal mereka tanah pelaut. Mengapa itu terjadi? Karena tidak pernah diajarkan ke anak-anaknya.”

“Di Bengkulu, saya lihat hampir semuanya bertanam sawit. Bisa jadi, hari ini. Jangan-jangan banyak orang tua kita yang sudah lupa bagaimana cara menanam padi di sawah,”

Dalam hati. Saya pikir, ini orang memang tidak ada capainya. Ucapannya selalu seperti parang yang menebas belukar di kepala anak muda dan menguliti anak kampung yang pandir dengan seragam kerja mereka ketika jadi buruh di kantor, atau di perusahaan yang cuma memerah tenaga tanpa upah yang layak.

Ujaran Rukka memang tak bisa dibantah. Hari ini memang banyak anak kampung yang malu bertani. Beberapa bulan lalu, saya pernah ketemu anak muda dari desa yang antre ikutan tes di sebuah hotel cuma untuk menjadi penjaja kosmetik keliling. Beberapanya lagi juga ikutan uji keberuntungan menjadi pegawai toko di Alfamart dan Indomaret.

Salah? Ya tidak juga. Zaman susah begini. Memang semua jadi. Tapi memang kocaknya, klaim mereka justru beranggapan bahwa di kampung sudah tidak ada harapan lagi. Para orang tua juga ‘mengusir’ mereka agar tidak jadi beban di desa. Jadi simalakama memang.

Di luar itu. Yang pasti, di tengah gelagapannya kita soal pandemi. Kampung-kampung hari ini tenang-tenang saja. Cuma anak mudanya saja yang kini justru banyak hijrah ke luar. Tak jelas mau apa, tapi di kepalanya cuma tersemat bahwa hidup di kampung tidak akan menyenangkan. Paling cuma kawin, beranak lalu menghabiskan hidup di ladang.

Yang celakanya lagi. Mereka yang sudah bersekolah. Justru pulang kampung cuma pas lebaran atau ada musibah saja. Kepala mereka sudah berdebu dengan pandir dan angkuh. Karena itu maklum bila kampung-kampung justru makin miskin dan dianggap rendah sepanjang hayat.

Aihh..kopi di meja sudah makin dingin karena malam. Mata saya perih melihat layar ponsel yang berpendar karena mengetik. Saya beringsut ke tenda. Di kepala, saya tercenung. Masih panjang ilmu Pulang yang sedang saya bangun. Tidur lagi.

Oktober 2021

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *