Alaku
Alaku

Karpet Merah Jalan Pulang Orde Baru

  • Bagikan

Karpet Merah Jalan Pulang Orde Baru

Oleh : Elfahmi Lubis

Alaku

“(Pokok-Pokok Haluan Negara) PPHN adalah gigi mundur roda 4 demokrasi kita, mengajak kita kembali setback ke belakang di era pra reformasi. Nostalgia kegagalan dulu tidak berhasil mengapa sekarang mau dihidupkan kembali. PPHN kita ibaratkan seperti orang salah kostum, tidak matching dari atas ke bawah. Presiden dipilih langsung oleh rakyat malah disuruh bertanggung kepada MPR. PPHN bukan suara rakyat tapi bisikan dari suatu liang tempat dimana demokrasi Indonesia dikubur dalam-dalam. Untuk anak muda, PPHN itu sama seperti mantan, indah dalam bayangan namun menyakitkan dalam kenyataan.

Cuplikan kalimat yang disampaikan Ridho Rahmadi di atas, sengaja ditempatkan sebagai pembuka tulisan ini untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa ada upaya sistematis dan massif untuk “mengkriminal” demokrasi sebagai daulat rakyat oleh sekelompok politisi yang memiliki tujuan jangka pendek yaitu “kekuasaan”, dengan cara “membegal” mandat rakyat menjadi seolah-olah konstitusional dan demokratis. Padahal sejatinya, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bukan aspirasi dan kehendak rakyat, tapi hanya keinginan elit yang memiliki libido berkuasa yang overdosis.

Untuk sekedar publik ketahui bahwa saat ini MPR sedang melakukan pengkajian dan pembahasan PPHN untuk selanjutnya akan dijadikan salah satu dasar dan alasan untuk dilakukan amandemen kelima UUD 1945. Yakni, ingin melegitimasi PPHN (sebagai pengganti GBHN) ke dalam konstitusi melalui proses amandemen. Apakah ini sebagai alasan “antara” saja untuk amandemen konstitusi ? Dimana sebenarnya tujuan utama yang ingin disasar adalah menggolkan masa jabatan presiden tiga periode melalui amandemen kelima konstitusi ?.

Namun terlepas dari itu semua, kita harus siaga 1 dan dalam kewaspadaan tinggi terhadap segala bentuk manuver elit politik untuk “mengutak-atik” konstitusi. Cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini bahwa pengalaman historis berbagai negara di dunia yang harus terjebak dalam konflik dan kekacauan, sebagai akibat “merampas” daulat rakyat dengan “membegal” konstitusi. Contoh terakhir belum lama ini adalah apa yang terjadi di Guinea sebuah negara di Benua Afrika, dimana terjadi kudeta militer sebagai akibat mengamandemen konstitusi untuk melegalkan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Menurut pandangan saya, tidak ada sedikitpun urgensinya untuk menghidupkan PPHN sebagai GBHN model baru. Soalnya, peran PPHN itu sudah “dikubur” dalam konstitusi dan telah digantikan oleh UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. Selain itu sejak amandemen keempat sistem ketatanegaraan kita sudah mengalami perubahan, dimana MPR sudah tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Selain itu, Presiden dipilih langsung oleh rakyat lewat proses Pemilu yang demokratis, sehingga kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN menjadi tidak relevan lagi secara konstitusional.

Saya setuju dengan pendapat banyak pihak bahwa gagasan dan keinginan untuk menghidupkan kembali PPHN lewat amendemen UUD 1945 merupakan bentuk sesat pikir di kalangan elite. Menurutnya, gagasan tersebut berpotensi mengakibatkan kemunduran reformasi.

Mengutip pernyataan pengamat politik Bawono (2021) bahwa amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali telah mengukuhkan Indonesia menganut sistem presidensial. Melalui sistem presidensial telah terbukti berhasil dalam membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada lembaga negara lain. Oleh sebab itu menghidupkan kembali GBHN dengan nama PPHN akan merusak sistem yang telah berjalan di Indonesia sejak era Reformasi. Lebih jauh hal ini menyebabkan pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem sudah dibangun selama ini.

Secara politik menghidupkan kembali PPHN sama seperti GBHN akan membuka pintu upaya memakzulkan presiden terbuka. Soalnya, membuat posisi presiden sekadar pelaksana tugas dan menghilangkan makna presiden sebagai kepala negara. Melalui proses ini sama saja “bunuh diri” dan memberikan karpet merah jalan pulang pada praktek kekuasaan seperti orde baru dulu.

Demokrasi “Kriminal”

Saat ini ada gerakan civil society untuk menolak President Treshold (PT) 20 persen, sebagai ambang batas pencalonan presiden. Walaupun PT ini telah berkali-kali dilakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun selalu ditolak. Alasan mengapa President Treshold harus ditolak sebab dengan ketentuan ambang batas pemilihan presiden dipatok 20 persen, maka hampir dipastikan proses sirkulasi elit di negara ini akan menjadi “bancaian” para elit. Dengan demikian orang-orang baik, cerdas, dan berintegritas tidak memperoleh kesempatan dalam proses sirkulasi elit, karena semuanya akan dibagi rata kepada elit politik yang berkuasa.

PT 20 persen telah menyebabkan terjadinya demokrasi “kriminal” dan transaksional. Akibatnya, mereka yang berkuasa sangat dikendalikan oleh kekuatan modal atau oleh para “cukong” politik. Sehingga walaupun era dan rezim telah berganti, tapi yang bercokol di puncak elit kekuasaan negeri ini tetap orang dan kelompok-kelompok status quo, yang memiliki kekuatan finansial untuk menentukan proses sirkulasi elit kekuasaan.

Oleh sebab itu gerakan menolak PT 20 persen harus tetap terus dilakukan, baik melalui jalur konstitusional maupun dalam gerakan dan kampanye penolakan kelompok civil society melalui kanal-kanal publik. Sehingga muncul kesadaran bersama bahwa urusan sirkulasi elit kekuasaan itu bukan hanya milik mereka yang punya kemampuan modal, tapi milik seluruh anak bangsa.

Ditulis, 19 September 2021 Kota Bengkulu

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *