Pemilu 2024 : Ada Resesi, Rasa Pandemi, dan Rasa Suksesi.
Penulis : Awang Konaevi
STAF HPPS Bawaslu Kota Bengkulu
“Masyarakat Pinggiran Kota Bengkulu
Yang pernah menikmati air jernih dalam kota di masa kecil, kini jadi kubangan kotor pembangunan”.
Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai wadah kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber), jujur, dan adil (Jurdil).
Sebentar lagi bangsa Indonesia akan menyelenggaran Pemilu pada tahun 2024. Pada tahun yang sama, bangsa Indonesia juga akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah serentak secara nasional. Keserentakan ini merupakan amanah Peraturan Perundang – Undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016. Dimana dalam Pasal tersebut pada prinsipnya mengatur bahwa Pemilu dan Pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024.
Hal tersebut juga dipertegas, dimana sebelumnya ada kesepakatan tim kerja bersama yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP menetapkan bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Sedangkan Pemilihan biasa dikenal dengan Pilkada secara umum adalah merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Bupati/ Walikota secara langsung berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berkenaan dengan Pilkada adalah bagian dari Pemilu, akan dibahas pada bagian terpisah mengingat pada tulisan ini akan fokus pada Pemilu 2024 dan hal-hal yang membuatnya menarik untuk menjadi bahasan, kajian, maupun diskursus banyak pihak.
Pemilu yang akan datang sangat menarik, tidak hanya berbicara suksesi pergantian kepemimpinan secara nasional, namun Pemilu kali ini juga akan dihadapkan dua hal menarik yaitu Pemilu rasa pandemi dan Pemilu rasa resesi.
Adapun definisi suksesi kepemimpinan itu sendiri menurut Aronoff (2003) adalah proses berkepanjangan dari perencanaan yang bertujuan untuk memastikan keberlanjutan bisnis antar generasi. Dari definisi tersebut, proses suksesi kepemimpinan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga calon pengganti dapat dipersiapkan dengan lebih matang.
Berdasarkan proses demokrasi yang didasari hukum, secara kepemimpinan nasional Indonesia telah menyepakati masa jabatan kepemimpinan adalah 5 Tahun dan dapat dipilih kembali 1 kali lagi. Habisnya masa jabatan Presiden sekarang termasuk beberapa kepala daerah di Indonesia, tentu hal ini akan membawa dampak kesemua bidang kehidupan berbangsa maupun negara.
Namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita harus berpikir bijak, disini kita bukan berbicara siapa sosok pengganti. Namun lebih penting adalah menjaga dan merawat kepemimpinan nasional sebagai bagian tugas bersama berbicara regenarasi kepemimpinan bangsa. Menyiapkan kepemimpinan yang benar-benar mampu menjawab tantangan dan kebutahan bernegara, mampu menjaga amanah konstitusi, sehingga harapan bernegara terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dapat benar-benar dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal penting juga bagai kita semua, baik elit politik, parpol, tokoh bangsa, tokoh agama, dan semua masyarakat. Pemilu bukan tempat pertumpahan darah, sebagaimana banyak dibelahan dunia memberi gambaran suram menjadikan prosesi demokrasi kepemimpinan sebagai ajang peperang sesama saudara. Tentu kita semua tidak menginginkan hal ini terjadi di Indonesia.
Sebagaimana para pendiri bangsa telah menempatkan nilai-nilai bermusyawarah untuk mufakat sebagai nilai dasar yang terkadung dalam Pancasila, tidak hanya sebagai salah satu ciri khas kehidupan bangsa Indonesia. Secara spiritual agar bangsa ini mengedepakan nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan kebangsaan sebagai pijakan dalam mengambil sikap pribadi maupun sosial.
Pemilu kali ini tidak hanya memiliki rasa suksesi, namun sangat erat juga dengan rasa pandemi. Sebagaimana telah kita rasakan dan ketahui bersama, pandemi covid-19 telah menjadi ancaman keselamatan jiwa manusia secara global. Bukan berdebat soal ada atau tidak, apa ini rekayasa ataupun natural, atau bahkan ini senjata pemusnah massal yang sengaja diciptakan oleh pihak tertentu.
Namun realitasnya, pandemi covid-19 telah masuk jauh kedalam jantung kehidupan, sosial, ekonomi, hukum, politik, ritus keagaman, dan bahkan persoalan keamana nasional.
Pemilu yang esensinya mendorong partisipasi publik untuk berperan aktif, di tengah ancaman keselamatan. Tentu, ini tidak bisa dianggap hal mudah bagi para pengambil kebijakan, penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, dan masyarakat umumnya.
Bagaimana Pilkada 2020 telah mengajarkan banyak hal, bahwa antara Pemilu dan keselamatan jiwa masyarakat adalah dua hal yang sama penting, tidak mendominasi, dan bahkan tidak bisa saling mengeyampingkan. Apa lagi korban jiwa telah nyata didepan mata kita semua.
Pandemi juga mendorong aturan hukum dapat diubah dalam waktu singkat, berpengaruh pada proses demokrasi yang sedang berjalan. Bagaimana kita menyaksikan proses pemilihan di TPS begitu rumit, repot, dan ketat aturan. Apakah ini meningkatkan hasil sebuah demokrasi.?
Maka penting apapun upaya pemerintah dalam upayanya menghadapi dan melawan pandemi Covid-19, harus didukung oleh semua pihak. Vaksinasi nasional, pembatasan sosial kemasyarakatan, 3 M ada juga 5 M, pengaturan jam kerja maupun pengaturan lainnya yang berkaitan dengan upaya kita semua dalam melawan penyebaran dan memutus mata rantai penyebaran covid-19, setidaknya dapat kita lihat sebagai ikhtiar kita semua dalam menjaga kehidupan berbangsa.
Semakin baik dalam mengendalikan penyebaran pandemi covid-19 hari ini, maka semakin baik juga kita semua dalam menyongsong Pemilu 2024 dengan penuh gembira, kebersamaan, dan partisipasi, tidak khawatir akan terpapar pandemi dan memakan korban jiwa lagi.
Terakhir Pemilu 2024 akan penuh resesi, dimana keadaan saat perekonomian suatu negara mengalami minus selama dua kuartal berturut-turut. Bukan kita akan berbicara data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat ini, namun yang pasti ekonomi Indonesia pada saat ini sedang kurang baik. Bukan ingin mengesampingkan apa yang sudah diupayakan kita semua, khususnya pemerintah. Namun fakta berbicara pandemi covid-19 tidak hanya memakan anggaran yang besar dalam mengatasinya, namun juga secara masif berdampak pada semua sektor kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Walaupun pemerintah juga mengimbanginya dengan mengucurkan dana yang cukub besar bagi program pemulihan ekonomi nasional.
Pembatasan sosial masyarakat, secara tidak langsung akan menghambat mobilisasi sosial dan ekonomi di masyarakat. Hal ini juga akan menghambat arus barang dan modal, yang seharusnya berjalan dinamis dan bahkan progresif, harus melambat dan bahkan terhenti.
Program pemerintah terlihat hanya menjual dan mengeksploitasi sisi kemanusian semata. Program vaksinasi masih menjadi pertanyaan banyak pihak, baik jenis vaksin, maupun efektivitasnya dalam menekan penyebaran. Termasuk keseriusan dari elit politik dalam memberi contoh yang baik bagi masyarakat, dalam mematuhi aturan. Hanya menggambarkan hal kecil dari begitu banyak persoalan akibat yang ditimbulkan pandemi.
Ketika resesi benar-benar terjadi dan berkepanjangan, dan kita semua khususnya Pemerintah tidak mampu menanggulangi dan meminimalisir dampak terburuk yang akan terjadi. Hal yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya krisis di Indonesia. Hal yang lebih buruk dan tidak diinginkan oleh semua pihak, mengingat di tengah krisis manusia bisa berbuat lebih dari hewan.
Tapi lebih penting adalah, berbicara resesi ekonomi dan korelasinya dengan Pemilu 2024. Di tengah ekonomi masyarakat yang rendah, diwaktu bersamaan proses Pemilu sedang berjalan. Masyarakat akan sangat rentan menjadi korban politik, masyarakat hanya akan menjadi alat eksploitasi wancana kemanusiaan, dan ajang politik uang. Kondisi ini juga akan mendorong nafsu berkuasa elit politik dengan cara kotor semakin tinggi, meningkatkan pelanggaran Pemilu, polarisasi masyarakat terkait politik bersamaan dengan kebutuhan ekonomi semakin tajam dan tinggi.
Pada akhirnya Pemilu seharusnya menjadi wadah kedaulatan rakyat, hanya tergadaikan dengan kepentingan sesaat dan sepihak, demi mendapatkan kekuasaan.
Lebih buruk, tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara akan pesimis untuk dicapai.
Atas hal tersebut, semua pihak perlu bersikap dengan bijaksana, rasional, dan penuh perencanaan. Agar apa yang ingin dicapai, baik dalam kehidupan bernegara, regenerasi kepemimpinan, berdemokrasi, betul-betul dimaknai sebagai tujuan mulia bersama. Setidaknya tidak menjadi dosa bersama dalam kehidupan dunia.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh