PSU Tak Boleh ‘Mendelegitimasi” Sukses Pemilihan Serentak 2024
Oleh : Elfahmi Lubis**
“Rasanya tidak obyektif dan fair, jika gara-gara PSU dibeberapa daerah, lalu dijadikan basis argumentasi untuk mendelegitimasi kesuksesan penyelenggaraan pemilihan serentak 2024”
Pemilihan 2024 adalah pemilihan paling fenomenal dalam sejarah demokrasi Indonesia, betapa tidak total daerah yang akan melaksanakan pemilihan serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Keserentakan pemilihan didasari oleh beberapa pertimbangan, baik politis, ekonomis, maupun yuridis. Dari aspek politis, keserentakan pemilihan ini sebagai upaya negara untuk memimpin proses sirkulasi elit di daerah dan sekaligus ingin mengokokohkan tegaknya sistem presidensial yang kuat, dimana presiden sebagai leader eksekutifnya. Dari aspek ekonomis sudah tidak terbantahkan lagi bahwa desain keserentakan pemilihan dalam upaya menghemat anggaran negara untuk pembiayaan politik/demokrasi Pilkada. Hal ini sejalan dengan politik anggaran pemerintah Prabowo mengusung kebijakan efisiensi. Sedangkan dari aspek yuridis, desain keserentakan pemilihan 2024 dimaksudnya agar terjadi hormonisasi, sinkronisasi, dan sistematisasi regulasi, norma, maupun kelembagaan demokrasi. Walaupun, bukan tanpa implikasi yuridis, berupa sengkarut regulasi dan tingginya sengketa pemilihan, biak yang bersifat administratif, proses, pidana pemilu, etik, dan puncaknya pada sengketa hasil di MK.
Secara obyektif pemilihan serentak 2024 telah berhasil melahirkan 961 orang pemimpin di daerah, yaitu terdiri dari 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, 85 wali kota, dan 85 wakil wali kota. Sementara sisanya akan dilantik kemudian menunggu hasil PSU yang diperintahkan MK dalam sengketa PHPU. Data MK sebanyak 26 pemilihan diberbagai daerah diperintahkan PSU (PSU sebagian/PSU Total). Dari jumlah tersebut 8 daerah mengkonfirmasikan kesanggupan anggaran untuk pelaksanaan PSU dan ada 18 daerah yang menyatakan ketidaksanggupan anggaran untuk pelaksanaan PSU.
Jika kita melihat secara statistik dan matematis, rasanya tidak salah alias keliru jika kita bisa berkonklusi bahwa pemilihan serentak 2024 telah sukses digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan DKPP yang secara regulatif sebagai penyelenggara Pemilu yang sah. Tidak kalah pentingnya, sukses pemilihan 2024 adalah sukses story bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder yang terlibat.
Pertanyaan mendasar apakah hanya gara-gara ada 26 PSU (PSU sebagian/PSU total) yang diperintahkan MK lalu seolah-olah mendelegitimasi kesuksesan pelaksanaan pemilihan serentak 2024. PSU jika dinilai sebagai residu preseden buruk dalam pemilihan serentak 2024 kita sepakat, tapi sebagai sebuah implikasi yuridis dari pengaturan dan pengelolaan pemilu yang rumit dan kompleks, sebenarnya masih dibatas kewajaran. Yang penting KPU sebagai motor utama penyelenggara teknis Pemilu, patuh pada hukum dan siap mengeksekusi perintah PSU yang diputuskan MK sebagai bentuk kepatuhan hukum dalam bernegara dan berpemerintahan.
PSU di pemilihan 2024 diharapkan menjadi titik balik, penguasa negeri ini untuk merefleksi dan sekaligus mengevaluasi pembenahan tata kelola Pemilu kedepan. Setidaknya, kejadian ini mendorong kita untuk berpikir bagaimana mendesain ulang Pemilu yang demokratis, akuntabel, nir pelanggaran, dan terpenuhinya prinsip-prinsip dasar sebuah election yang berkualitas tinggi.
Dalam pandangan saya, gagasan modernisasi sistem pemilu kita dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu aspek pengaturan hukum dan aspek penegakan hukum pemilu. Pada aspek pengaturan, Pemilu di Indonesia terlalu surplus regulasi, multitafsir norma, dan inkonsistensi antar peraturan. Selain secara kelembagaan, terlalu banyak lembaga yang melibatkan dan “menceburkan” diri cawe-cawe dalam masalah teknis pemilihan, yang semuanya memiliki kepentingan politis. DPR dan pemerintah misalnya terlalu dominan cawe-cawe dalam urusan pengaturan hukum pemilu, dimana mengakibatkan penyelenggara Pemilu menjadi “tersandera” dalam melaksanakan Pemilu yang fair dan berkualitas.
Sementara dari aspek penegakan hukum, mungkin penegakan hukum pemilu aspek paling lemah. Hal ini disebabkan regulasi yang mengatur sengaja didesain “banci” untuk menindak pelanggaran, ditambah lagi “pelucutan kewenangan” penindakan oleh regulasi terhadap lembaga pengawasan seperti Bawaslu, DKPP, dan termasuk masyarakat sipil.
Oleh sebab itu jika kita ingin mengakhiri carut marut pemilu, maka harus ada gerakan revolusioner dalam penataan aspek pengaturan hukum Pemilu dan aspek penegakan hukum pemilu. Semoga bermanfaat 🙏
Dirilis pada media Nasional Darah Juang Online pada hari Senin tanggal 10 Maret 2025. (Red/01)