Alaku
Alaku
Alaku

“RUNTUHNYA INTEGRITAS MORAL PENJAGA BENTENG KEADILAN” oleh Abdusy Syakir

“RUNTUHNYA” INTEGRITAS MORAL PENJAGA BENTENG KEADILAN

Abdusy Syakir

Alaku

 

“Jika dahulu orang harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur”

Sebastian Pompe dalam bukunya ‘Runtuhnya institusi Mahkamah Agung’ (2012)

 

PENDAHULUAN

Institusi Adhiyaksa dalam hal ini Kejaksaan Agung melalui bidang Tindak Pidana Khusus kembali menorehkan kinerja positif, pada Sabtu 12 April 2025 menetapkan sekaligus menahan 4 orang Tersangka untuk 20 hari kedepan dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industry kelapa sawit dengan terdakwa yakni korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group. Dalam konferensi Pers di Jakarta yang disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar disebutkan ke 4 tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (MAN) saat ini menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan (WG) sebagai Panitera Muda PN Jakarta Utara, Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (A) status Advokat dimana perkara tersebut disidangkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Penetapan ke 4 orang tersangka ini lalu diikuti dengan ditetapkannya 3 orang Majelis Hakim pemeriksa pada perkara korporasi dimaksud oleh Kejaksaan Agung setelah dilakukan pemeriksaan pada Minggu 13 April 2024 dan tentu berpotensi bertambah jika dikemudian hari penyidik menemukan bukti dan fakta-fakta baru atas dugaan keterlibatan pihak lain dalam pusaran suap dan gratifikasi ini.

 

PERMASALAHAN

Lantas apa yang sejatinya menjadi faktor penyebab berkenaan kasus diatas wabil khusus dalam proses penegakkan hukum di negeri ini ? dan apakah ini merupakan potret dan realitas yang acapkali terjadi dalam mencari keadilan ? sebegitu sulitkah mendapat keadilan dinegeri ini ketika disisi lain rakyat sangat berharap pada institusi peradilan yang merupakan tempat mencari keadilan ? serta banyak pertanyaan lain yang muncul dari pandangan publik.

 

 

PEMBAHASAN

Tentu tak mudah menjawab berbagai pertanyaan diatas karena ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi serta pada perspektif mana kita melihat realitas hukum tersebut dengan tetap fair dan proporsional memandang. Sejatinya proses penegakkan hukum khususnya hukum pidana tidak dapat hanya menyandarkan pada satu institusi penegak hukum saja misal kepolisian atau kejaksaan ansich, dengan menggunakan pendekatan Integrated Criminal Justice System (ICJS) tentu dibutuhkan adanya hubungan fungsional dan institusional yang selaras antar penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat serta institusi terkait lainnya sehingga dalam proses penegakkan hukum dilakukan sesuai ketentuan pidana dan acaranya yang bermuara pada terwujud rasa keadilan di tengah masyarakat.

 

Penetapan 4 orang yang berstatus sebagai Hakim dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) menambah panjang jumlah hakim yang menorehkan noktah hitam korupsi, setidaknya merujuk data International Coruption Watch (ICW) dalam rentang waktu sejak tahun 2011 hingga 2023 ada 26 orang (termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi), ini dapat dilihat pada matrik berikut antara lain:

1. HAKIM Syarifudin Umar, Hakim pada Pengadilan Jakarta Pusat, dalam perkara Kepailitan PT SKY Camping Indonesia (SCI).

 

2. Imas Dianasari, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial Bandung dalam penanganan perkara untuk memenangkan PT Onamba Indonesia Jawa Barat.

 

3. Pragsono, Hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang penanganan kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobnas Kab Grobogan yang melibatkan Ketua DPRD non aktif M. Yaeni.

 

4. Asmadinata, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Palu penanganan kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobnas Kab Grobogan yang melibatkan Ketua DPRD non aktif M. Yaeni.

 

5. Kartini Juliana Magdalena Marpaung, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Semarang berkenaan suap 150 juta pada kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobnas Kab Grobogan yang melibatkan Ketua DPRD non aktif M. Yaeni.

 

6. Heru Kisbandono, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Pontianak penanganan kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobnas Kab Grobogan yang melibatkan Ketua DPRD non aktif M. Yaeni.

 

7. Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua PN Bandung berkenaan dugaan suap kasus dana bansos di Bandung.

 

8. Ramlan Comel, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Bandung berkenaan kasus Bansos di Bandung.

 

9. Pasti Seferina Sinaga, Hakim Tinggi pada PT Jawa Barat berkenaan kasus Bansos pada Pemkot Bandung.

 

10. Akil Mochtar, Hakim Mahkamah Konstitusi berkenaan penanganan sengketa pilkada pada beberapa daerah antara lain Kab. Gunung Mas, Lebak, Kota Palembang, Empat Lawang, Lampung Selatan, Buton, Pulau Morotai, Tapanuli Tengah.

 

11. Tripeni Irianto Putro, Ketua PTUN Medan dalam perkara PTUN penanganan dugaan suap Bansos Medan tahun 2015.

 

12. Amir Fauzi, Hakim PTUN Medan dalam perkara PTUN penanganan dugaan suap Bansos Medan tahun 2015.

 

13. Dermawan Ginting, Hakim PTUN Medan dalam perkara PTUN penanganan dugaan suap Bansos Medan tahun 2015.

 

14. Janner Purba, Ketua Pengadilan Kepahiang dalam penanganan dugaan korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Bengkulu.

 

15. Toton, Hakim Ad Hoc Tipikor Bengkulu dalam penanganan dugaan korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Bengkulu.

 

16. Dewi Suryana, Hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu dalam penanganan perkara yang terdakwa PLT. BPPKAD Pemkot Bengkulu.

 

17. Sudiwardono, Ketua Pengadilan Tinggi Manado dalam penanganan perkara banding dengan terdakwa Bupati Bolaang Mogondow periode 2001-2006 dan 2006-2015.

 

18. Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi penanganan perkara uji materi UU No.41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.

 

19. Wahyu Widya Nurfitri, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, dalam penanganan perkara perdata wanprestasi.

 

20. Merry Purba, Hakim Ad Hoc Pengadilan Negeri Medan, dalam penanganan perkara dengan terdakwa Tamin Sukardi.

 

21. Irwan, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penanganan perkara perdata.

 

22. Iswahyu Widodo, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penanganan perkara perdata.

 

23. Kayat, Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, penanganan perkara kasus pemalsuan surat atas nama terdakwa Sudirman.

 

24. Itong Isnaeni Hidayat, Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam penanganan perkara pembubaran PT Soyu Giri Primamedika (SGP).

 

25. Gazalba Saleh, Hakim Agung pada Mahkamah Agung terkait suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung.

 

26. Sudrajat Dimyati, Hakim Agung pada Mahkamah Agung suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung.

 

 

Jumlah diatas tentu makin bertambah dengan ditetapkannya 3 orang Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo pada Oktober 2024 dan terseretnya Rudi Suparmono mantan Ketua PN Surabaya pada awal tahun 2025 terkait vonis bebas dalam penanganan perkara atas nama terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang juga melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar sekaligus adanya keterlibatan pihak lain yakni ibu terdakwa dan oknum Advokat. Beberapa peristiwa yang melibatkan oknum Hakim, Advokat, insan institusi pengadilan serta pihak-pihak lain pada satu sisi semakin memperburuk citra dan marwah institusi peradilan dalam mengenjot program zona integritas yang bertujuan mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) akan tetapi disisi lain dapat digunakan sebagai momentum “bersih-bersih” karena dari ribuan insan institusi peradilan masih terdapat orang-orang yang tegak lurus, bersih serta on the track dalam mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah masyarakat.

 

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PRILAKU KORUPSI

Untuk menjawab berbagai pertanyaan berkenaan diskursus faktor penyebab terjadinya korupsi baik itu suap atau gratifikasi, setidaknya dapat menggunakan hasil pengkajian dan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional berkenaan prilaku koruptif aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara di pengadilan pada medio Maret hingga November 2013. Berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang menggunakan metode studi pustaka dan FGD, setidaknya ada 2 faktor penyebab yakni :

Dari aspek psikologis

Faktor internal meliputi : Faktor keluarga Faktor lingkungan, Faktor adanya kesempatan, dan Faktor pengawasan.

 

Faktor eksternal meliputi : Motivasi, Moral, dan Intensi.

 

Dari aspek hukum

Faktor internal meliputi : Peraturan per-undang-undangan, Sistem organisasi, Sarana dan prasarana, Budaya organisasi, dan Masyarakat.

 

Faktor eksternal meliputi : Kepribadian, Gaya hidup, dan Pengetahuan.

 

Dari hasil penelitian dan kajian setidaknya dapat diketahui faktor penyebab utama terjadinya perilaku koruptif dengan berbagai bentuk berasal dari faktor internal dan eksternal dan jika dikorelasikan dengan pendapat Jack Bologna yang dikenal dengan teori GONE secara substansi penyebabnya adalah keserakahan dan tidak pernah puas. Menurut pendapat Jack Bologna faktor utama penyebab terjadinya perilaku koruptif meliputi antara lain :

Greedy atau keserakahan.

Opportunity atau kesempatan.

Need atau kebutuhan.

Exposure atau pengungkapan.

 

Faktor-faktor diatas lalu saling bersilangsekarut karena perilaku serakah tidak akan menyebabkan korupsi ketika ketiadaan kesempatan yang dimiliki, demikian pula sebaliknya dengan faktor kebutuhan seseorang dimana seseorang cukup puas dengan apa yang dimiliki tanpa harus mengikuti hawa nafsu dalam memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya tentu tidak akan melakukan hal yang bersifat koruptif. Dalam praktek perilaku koruptif tidak hanya terjadi pada masyarakat umum namun juga telah menyebar dan seakan menjadi budaya pada para pemimpin atau pejabat publik.

 

Dalam konteks korupsi dugaan suap dan gratifikasi kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) industri kelapa sawit yang melibatkan 7 orang tersangka setidaknya disebabkan adanya faktor kesempatan dan kebutuhan yang diperparah dengan perangai serakah dan tidak pernah puas. Tentu argumen ini termanifestasi pada besarnya nilai nominal uang korupsi sebesar 60 Milyar yang diakui oleh tersangka serta adanya barang bukti berupa kendaraan mewah baik berupa mobil jenis Ferrari hingga Nissan GTR dan motor gede (moge) yang disita oleh Penyidik pada Kejaksaan Agung. Sebagai gambaran sederhana jika dikomparasi nilai uang 60 Milyar terhadap peruntukan anggaran bagi masyarakat miskin atau tidak mampu yang senilai 5 juta/perkara maka setidaknya ada 12.000 perkara masyarakat miskin yang mendapatkan manfaat atas permasalahan hukum yang dihadapi, tentu sebuah angka yang cukup lumayan untuk menunjukan Negara hadir dalam menjawab problem-problem hukum kaum miskin sesuai perintah Undang-Undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Selain itu faktor lingkungan dan gaya hidup yang hedonis menjadi faktor pemicu sehingga simbol-simbol kemewahan dalam bentuk kendaraan dan atribut barang mewah lainnya seakan sengaja dipertontonkan untuk menunjukkan kasta sebagai orang yang sukses (high class) dan terpandang dilingkungan atau komunitasnya, meskipun cara mendapatkan simbol kemewahan tersebut dengan menghalalkan segala cara termasuk menerapkan prilaku koruptif.

 

UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN ONSLAG

Lantas apa upaya yang harus ditempuh terhadap adanya putusan onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum Majleis Hakim perkara 3 Korporasi tersebut ? Dalam praktek penanganan perkara oleh Pengadilan yang bermuara pada adanya suatu putusan atas dugaan tindak pidana oleh seseorang setidaknya dikenal 3 bentuk putusan yakni :

1. Putusan Bebas (diatur Pasal 191 ayat 1 KUHAP).

2. Putusan Lepas (diatur Pasal 191 ayat 2 KUHAP).

3. Putusan Pemidanaan (diatur Pasal 193 ayat 1 KUHAP).

 

Dari 3 bentuk putusan diatas dalam perkara ini Majelis Hakim pada 19 Maret 2025 bersepakat bulat memutuskan ke 3 terdakwa korporasi dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau onslag van recht vervolging meskipun terhadap unsur yang didakwakan dianggap terbukti memenuhi unsur namun hal itu bukan merupakan suatu tindak pidana, hal mana diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat 2 KUHAP padahal Penuntut Umum pada tuntutan menyatakan terbukti perbuatan para korporasi dan masing-masing dituntut membayar sejumlah uang denda dan uang pengganti dan jika tidak dibayarkan maka ada sita dan pidana penjara terhadap Direktur serta pengendali korporasi yang bervariasi. Oleh karena putusan diputuskan pada pengadilan tingkat pertama tentu putusan 3 korporasi belum dapat dikatakan inckraht atau berkekuatan hukum tetap namun masih terdapat upaya hukum yakni kasasi mengacu ketentuan Pasal 244 KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-X/2012 dan upaya kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung sebagaimana ketentuan Pasal 259 KUHAP dan haqqul yakin upaya ini diambil oleh Penuntut Umum.

 

SOLUSI

Fenomena dan dinamika penegakkan hukum khususnya korupsi yang tengah terjadi tentu tak perlu disesali pun demikian tak berguna jika hanya marah tanpa melakukan upaya konkrit ibarat “bergumam di balik bukit”, setidaknya berkontribusi mencegah ini kembali terulang menjadi solusi dan alternatif bijak yang harus ditempuh. Dengan kata lain bagaimana memaksimalkan mencegah terjadinya berbagai faktor penyebab korupsi dari aspek psikologis ataupun hukum baik dari internal ataupun eksternal, lebih penting lagi bagaimana mengendalikan perangai serakah dan nafsu tidak pernah puas dalam memenuhi kebutuhan ditengah kehidupan yang sangat materialistis dan berhamba pada duniawi , dalam perspektif ini menjadi relevan pesan moral Mahatma Gandi yang mengatakan “Nature can provide for the needs of people, (she) can’t provide for the greed of people, Alam mampu mencukupi kebutuhan manusia, namun tidak mampu memenuhi keserakahan manusia”

 

PENUTUP

Sebagai penutup terlepas dari adanya fenomena degradasi integritas moral yang saat ini tengah melanda insan institusi peradilan pada kasus dugaan suap dan gratifikasi 3 terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit, tentu spirit dan nyala lentera keadilan tetap harus hidup dan terang. Setidaknya nama Bismar Siregar, Artidjo Alkostar dan Adi Andojo Soetjipto sebagai Hakim Agung selalu dirindukan, harum dan dikenang publik menjadi suri tauladan dan panutan hingga saat ini khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh insan peradilan, segala sesuatu tak ada yang sempurna, tak ada gading yang tak retak. Biarlah lentera itu menemukan sosok hakim yang jujur meskipun ditengah pekat dan gelapnya lorong penegakkan hukum yang berkeadilan.

 

Penulis adalah Penggiat pada Komunitas Marjinal, dan dirilis pada media DJO, hari Selasa tanggal 15 April 2025. (Red/01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *