Jakarta, Darah Juang Online – Warga kembali kecewa dengan keputusan sepihak PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi yang berencana membangun rumah susun baru di daerah Tanjung Priok yang dijanjikan selesai pada tahun 2025.
“Pernyataan PJ Gubernur untuk memindahkan kami, tentu tidak bisa diterima sebagai pihak yang sudah di bina. PJ Gubernur hendaklah meninjau kembali, kami sudah memiliki hak pada gubernur sebelumnya Bapak Anies Rasyid Baswedan membangunkan Kampung Susun Bayam beserta perkebunan sebagai penunjang ekonomi kami, dan HPPO yang disediakan untuk yang tidak berminat pertanian,” ujar Furqon perwakilan warga Kampung Bayam. Kamis (1/2/24)
Sudah hampir menginjak sebelas bulan sejak (13/03/2023) warga menempati KSB secara paksa. Bukannya memberikan kunci KSB, PJ Gubernur dan JAKPRO justru mengkriminalisasi warga dengan melapor ke kantor polisi.
“Sikap PJ Gubernur selama ini sudah membuat kami lumpuh, mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, luluh lantah diabaikan hampir dua tahun lamanya. Padahal kami sudah memiliki SK resmi ditandatangani oleh Gubernur sebelumnya. Sudah ada bukti dan nomor unit. Kami terprogram dan juga di bina untuk hidup berdampingan dengan Jakarta International Stadium (JIS),” lanjut Furqon.
Perwakilan pendamping warga dari Indonesia Resilience atau IRES Cika menyampaikan bahwa PJ Gubernur memutuskan rencana pembangunan rusun di wilayah Tanjung Priok tanpa ada sosialisasi alias sepihak. Jika memang solusi terbaru adalah dengan membuat rusun baru, lanjut Cika, seharusnya perlu adanya pelibatan warga, itu adalah langkah paling konkit.
“Membangun rusun baru bukan solusi yang tepat, justri perlu dilakukan tinjauan kembali dengan evaluasi dan sosialisasi, apakah warga setuju atau tidak untuk dipindahkan, mengingat Warga kampung bayam memiliki nilai historis sebagai petani kota,” ujar Cika.
Akhir-akhir ini pasca viral bahkan trending nomor satu di platform X, menimbulkan simpatik warga dan masyarakat Indonesia. Seharusnya fenomena tersebut merupakan refleksi bagi PJ Gubernur dan JAKPRO harus membuka ruang dialog terbuka yang melibatkan pihak terkait. Bukannya justru memperketat keamanan JIS yang menimbulkan konflik-konflik secara verbal. Sebetulnya warga hanya butuh suaranya digandeng dan didengar pihak terkait.
“Kami tidak menyepakati tindakan PJ Gubernur yang tidak mau berdialog dengan warga hanya dengan media-media yang menimbulkan kesalahpahaman persepsi dalam menyampaikan informasi,” tambah Furqon.
Harapannya PJ Gubernur dan JAKPRO menghadirkan dialog terbuka yang objektif dan mediasi yang tepat tanpa adanya intimidasi. Sebuah hal fundamental yaitu melibatkan warga dalam pengambilan keputusan yang akhirnya akan menghasilkan keputusan yang tidak merugikan siapapun. (Rls/01)