Oleh: Agustam Rachman
(Alumni FH Unib)
Bengkulu, Darah Juang Online – Setelah lebih kurang sebulan hubungan pihak Dekanat FH UNIB memanas diawali dengan postingan video dimedia sosial yang berisi kritikan BEM FH Unib terhadap buruknya birokrasi di FH UNIB, dibalas oleh pihak Dekanat dengan menghentikan pelayanan terhadap Mahasiswa sampai pihak BEM meminta maaf, alih-alih meminta maaf, pihak BEM ‘menambah dosa’ (setidaknya dimata Dekanat) dengan melakukan kegiatan pengenalan mahasiswa baru diluar kegiatan yang dianggap resmi oleh fakultas.
Klimaksnya minggu ini tepatnya 10 Agustus 2021, Kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa FH UNIB dibekukan dengan diterbitkannya SK Dekan FH UNIB Nomor : 3098/UN.30.8/HK/2021
Pembekuan Kepengurusan BEM itu sontak menjadi berita nasional. Puluhan media online lokal diantaranya: Bengkulu Kito, Kabar Raflesia, RMOL, Ciprit.com, Infonegeri, Nusadayli, Siapgrak, Berita Satu, Pesan Rakyat, Triptohuaisai, Headtopics, Darah Juang, Bencoolentime dan media nasional menjadikan berita itu sebagai berita utama diantaranya Tempo, Antara dan RRI.
Di group WA Ikatan Alumni FH Unib, ‘pembicaraan ngalor-ngidul’ itu berlangsung sampai pukul 23.19 tadi malam (12/08). Kenapa saya sebut ‘ngalor ngidul’ sebab menurut saya sudah sepantasnya jika para alumni turun langsung atau setidaknya menyampaikan pokok-pokok pikiran tertulis terkait solusi kepada para pihak.
Tentu peristiwa heboh ini tidak bisa kita menilainya dari satu sisi yaitu sisi baik atau sisi buruknya saja.
Kejadian ini haruslah dilihat sebagai dinamika alamiah dunia kampus yang didalamnya berisi orang-orang cerdas dan kritis. Sepanjang yang dipersoalkan bukanlah menyangkut masalah pribadi mereka itu.
Kita menunggu apa saja langkah yang akan diambil oleh para pihak ke depannya. Apakah BEM akan menempuh upaya hukum ke PTUN? jika itu terjadi hal itu tentu harus kita apresiasi sebab preseden pembubaran ormawa kampus sudah pernah terjadi sebelumnya yaitu dialami Mapetala (Mahasiswa Pencinta Alam) UNIB sekitar tahun 2014. Tapi waktu itu Mapetala ‘mengakui bersalah’ terbukti mereka tidak menggugat Rektor Unib atau melakukan langkah hukum.
Seorang teman yang juga sesama Alumni FH Unib pagi tadi menelpon saya, dengan setengah mengejek dia mempertanyakan apakah kurang kapasitas keilmuan para dosen kita untuk mencari solusi menghadapi masalah ini. Terlebih banyak diantara dosen kita yang mengampu mata kuliah mediasi dan ADR bahkan diantaranya adanya yang bersertifikat mediator nasional. Karena ini hari baik yaitu hari Jumat, maka saya jawab dengan sedikit bijak, bahwa ini bukan soal keilmuan yang kurang tapi ini soal kesediaan para pihak untuk sedikit mengalah dan harus mengedepankan hati nurani demi kebaikan almamater. Bukan malah terjebak pada emosi merasa paling benar. Tentu pintu mediasi tetap ada, apalagi jika mediasi itu di inisiasi oleh pihak Rektorat Unib sebagai penengah.
Jika dibandingkan dengan pengibaran baliho raksasa ditower pemancar diseberang Rektorat Unib yang bertuliskan : ‘Zulkifli Husin, Johan Setyanto, Zainal Muktamar Anj*ng Kapitalis’ pada tahun 2000 oleh kelompok Mahasiswa Kiri tentu saja kritik yang lakukan oleh BEM FH Unib terhadap Dekanat adalah masalah kecil. Yang kita kagum, tindakan Rektorat saat itu tidak banyak, hanya memerintahkan satpam Unib untuk menurunkan baliho itu (00).