Penyalak / Kritik dan Diogones dari sinope
Penulis : Ronald Reagan
Apa yang kita bayangkan pertama kali tentang kekuasaan? Bagi Goenawan Moehammad, Kekuasaan adalah tempat diproduksinya Ilusi. Di dalamnya berisi sandiwara dan kebohongan. Dia dipertontonkan. Bagi Karl Marx, kekuasaan kurang lebih bermakna alat bagi sekelompok orang untuk menindas kelompok/golongan yang lainnya. Sedangkan menurut Piere Bourdieu, ( Tafsir bebas penulis) kekuasaan adalah seperangkat alat yang digunakan oleh klass dominan/ bisa siapa saja, dalam memproduksi kekerasan. Dalam hal ini Bordieu menitik beratkan pada hal-hal yang bersifat simbolik.
Tiga pandangan diatas setidaknya menjelaskan tiga kategori kekuasaan, dimana dia tunduk didalam kategori ilusi dan kebohongan, dia akan dijadikan alat oleh klas dominan untuk menindas, serta bentuk penindasan ataupun kekerasan yang dihasilkan dapat berupa kekerasan yang nyata serta simbolik.
Berangkat dari tiga kategori kekuasaan diatas, maka kekuasaan tetap harus digugat, dikritik. Mengugat dan mengkritik kekuasaan masuk dalam istilah menyalak/menggongong, sedangkan pelakunya disebut penyalak.
Jika engkau terus menyalak melempar kritik pada kekuasaan , engkau akan dianggap seekor anjing oleh penguasa. Kekuasaan akan bergerak untuk meredamnya. Tapi proses ini juga akan meletakkan posisi kita dalam kesadaran penting sebagai warga negara.
Warga negara yang kita maksudkan disini adalah setiap orang yang tidak terlibat langsung dengan kekuasaan. Karena ini penting untuk memilah kualitas (Moral, Red) dari kritik, sampai pada maksud kritik disampaikan.
Antara kritik yang disampaikan oleh seorang politisi dan kritik yang disampaikan oleh warga negara tentu sangat berbeda nilainya. Kritik seorang politisi baik yang duduk didalam parlemen maupun aktif secara kepartaian, beban kritiknya sangat terpengaruh dengan kebutuhan partai, menaikkan posisi tawarnya sampai pada kebutuhan transaksional lainnya. Artinya kritik disampaikan atas dasar kesadaran partai.
Sedangkan Kritik warga negara lahir atas kesadaran lingkungan masyarakatnya. Kritiknya dihidupkan oleh ketulusan nurani.
Persamaan kritik warga negara ibarat kritik seorang Diogenes sang sinis, anjing yang selalu menyalak kekuasaan mapan di Athena. Dia menggedor Athena dengan penuh asketis. ” Aku menyanggah Tidak ada realitas moral dan etika diatas teks yang dapat ditemukan, Semuanya harus menyala pada tindakan ” – seperti itulah maksud Diogenes menyalak – Itulah realitas moral yang sebenarnya yang disampaikan Diogenes.
Diogenes menyampaikan maksud kehidupan dengan penuh sinis. Pria yang selalu tidur didalam tong dipinggir pasar Athena ini, menjadikan kritik sebagai alat untuk memperlihatkan sinisme.
Terkadang dia membawa lampu disiang hari, Menyerupai Socrates, tetapi dia lebih gila lagi. Dia akan berkeliling dengan lampunya, menggongong, mencari pria-pria jujur, kesetiap lorong pasar. Diogenes dan lampunya ini dengan sinis ingin menceritakan bahwa, kejujuran telah hilang dari kehidupan manusia di Athena.
Penguasa punya semua alat untuk membuat kritik menjadi tindakan biadab – jika kita berhasrat menggongong tempat dimana kemunafikan, kebohongan di produksi. Sekali menyalak, kita menemukan kehidupan ditariknya kedalam kurungan, atau berbuah mati pada keadaan Socrates – atau kisah Pria penyalak bernama Munir.
Kekuasaan sangat mudah menghilangkan jejak penyalak dalam sekejap. Tetapi penyalak selalu berhasrat untuk membunuh ketakutannya atas tindakan biadab kekuasaan. Seperti keberanian Diogenes dari Sinope saat mengusir seorang Alexander Agung yang dianggap menghalangi cahaya matahari ketika berdiri didepanya.
Setiap kritik dari penyalak selalu moralitas yang dikemukakan. Bukan seperti harapan kekuasaan yang meletakkan standar moral berdasarkan pada teks dan penjara.
Penyalak Jika dia tergoda dengan sepotong tulang. Dia akan dihadiahkan satu panggung. Maka dia runtuh, asketism yang ada didalam nuraninya telah berganti menjadi hina. Dia hanya menyalak jika ada tulang atau dia dirantai. Inilah yang kita temukan pada para penyalak sekarang.
Dia akan membunuh kebebasannya sebagai seorang yang unggul dan merdeka. Tentu dia bukan harapan dari masyarakat dan lingkungan nya.
Pria penyalak Seperti Diogenes ataupun Zeno tidak mementingkan harapan berlebih, seperti penghargaan dan penghormatan. Dia hanya ingin keterikatan materi yang lebih rendah bisa dilepaskan dari kejiwaan manusia. Mereka menyarankan ini sebagai bentuk tanggung jawab sebagai manusia, bukan sebagai hewan ternak, yang terhipnotis oleh kekuasaan dan penghormatan.
Tetapi kita akan menemukan kesenangan-kesenangan penyalak yang langka dalam kesendirian. Manusia akan selalu bertuan pada kebenaran. Kebenaran adalah peninggalan paling primitif dalam sejarah kebudayaan manusia itu sendiri – dia akan hidup didalam nurani dan tindakan para penyalak. Seperti kesetiaan Anjing pada tuannya. Manusia bertuan pada kebenaran – itu hukumnya.