Toxic20 peringatan untuk akhiri era PLTU batubara, Keberadaan PLTU Teluk Sepang jadi bukti nyata
Nasional, Darahjuang.online — Sepanjang setahun kepemimpinan Presiden Prabowo, janji iklim dan transisi energi yang berulang kali digaungkan masih jauh dari tujuan untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Alih-alih melakukan pemensiunan PLTU batubara, pemerintah justru terus berupaya untuk mencegahnya dengan dalih ongkos yang mahal dan menawarkan solusi palsu.
Padahal menurut studi terbaru yang dilakukan oleh Crea, Celios, dan Trend Asia yang berjudul “Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia” terungkap bahwa operasional dari 20 PLTU tersebut berpotensi mengakibatkan 156.000 kematian dini kumulatif akibat polusi udara. Tak hanya itu, pembakaran energi fosil itu mampu mengakibatkan kerugian ekonomi kumulatif akibat kerugian kesehatan mencapai USD 109 miliar atau setara dengan Rp1.813 triliun. Angka ini adalah akumulasi dari risiko yang dihitung mulai tahun 2026 hingga 2050.
Kehadiran PLTU secara jelas telah membawa risiko kesehatan yang signifikan bagi masyarakat di Indonesia. Dalam riset ini, kami tidak hanya menghitung angka kematian dini, tapi juga menghitung potensi dampak kesehatan lain akibat polusi udara secara kumulatif seperti kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan kurang, kunjungan ruang gawat darurat asma, tahun-tahun yang dijalani dengan disabilitas, hingga ketidakhadiran kerja.
Riset yang dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini juga mengungkap bahwa kerugian ekonomi per tahun dari operasional 20 PLTU paling berbahaya ini mencapai Rp52,4 triliun dan mengakibatkan berkurangnya pendapatan masyarakat secara agregat sebesar Rp48,4 triliun.
Kehadiran PLTU tidak hanya memberikan dampak negatif secara makro terhadap perekonomian, tapi juga menghancurkan ekonomi di sektor-sektor strategis yang selama ini menjadi mata pencaharian warga.
Selain mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran kerja, kehadiran PLTU mengakibatkan 1,45 juta tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Mereka rata-rata berasal dari sektor pertanian dan kelautan. Pembangkit yang seharusnya sudah dipensiunkan, namun justru masih beroperasi dan memperpanjang derita masyarakat serta krisis lingkungan.
Dalam laporan Toxic20.org yang diluncurkan hari ini terdapat daftar 38 PLTU batubara, termasuk PLTU Teluk Sepang di Bengkulu yang menunjukkan dampak serius yang tak kalah memprihatinkan. Berdasarkan pemantauan Kanopi Hijau Indonesia, pembangkit ini terlibat dalam serangkaian kejahatan lingkungan dan sosial yang merugikan warga dan ekosistem pesisir.
Pemantauan dalam kurun 2024-2025, ditemukan 13 titik pembuangan limbah abu sisa pembakaran batubara yang disebut Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang dilakukan secara serampangan, salah satunya berada di Kelurahan Air Sebakul, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, berjarak sangat dekat dengan rumah warga. Dampaknya, sumur-sumur warga tercemar dan airnya tak lagi layak konsumsi.
Menurut Liza Lidiawati, akademisi FMIPA dari Universitas Bengkulu lokakarya riset evaluasi partisipatif terhadap PLTU batubara Teluk Sepang menyebutkan, hasil uji laboratorium menunjukkan pH air sumur warga Air Sebakul bersifat asam dan melebihi ambang baku mutu. Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi menandakan adanya kontaminasi kimia berbahaya dalam air yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari.
Di sisi lain, bangunan pembuangan air bahang PLTU Teluk Sepang juga menimbulkan ancaman besar bagi ekosistem laut dan ekonomi Bengkulu. Struktur bangunan kolam air bahang yang menjorok ke laut diduga kuat menyebabkan perubahan arah arus dan gelombang, yang kemudian memicu pengikisan daratan (abrasi) di sisi kanan kolam bahang dan mengangkut sedimen menuju pintu alur Pelabuhan Pulau Baai.
Penelitian yang dilakukan Dedi Bachtiar, dari Jurusan Kelautan Universitas Bengkulu, bersama Kanopi Hijau Indonesia menunjukkan bahwa perpindahan sedimen di lokasi tersebut meningkat dari 5.455 meter kubik perhari menjadi 10.037 meter kubik per hari. Kondisi ini telah menghambat aktivitas kapal besar di Pelabuhan Pulau Baai, dan secara langsung mengancam perekonomian Provinsi Bengkulu, terutama mobilitas masyarakat Pulau Enggano.
“Dari berbagai dampak yang ditimbulkan ini sudah saatnya mematikan PLTU batubara, karena memperpanjang umur PLTU sama artinya memperpanjang penderitaan rakyat,” kata Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar. Sebagaimana termuat dalam rilis yang diterima Awak Media DJO via pesan singkat WhatsApp. Selasa (4/11/25)
Selain pencemaran lingkungan, masyarakat Desa Padang Kuas, Seluma juga harus menghadapi bahaya jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) milik PLTU yang melintasi pemukiman mereka.
Sejak PLTU beroperasi pada 2020, sambaran petir meningkat secara signifikan di desa tersebut. Kejadian ini diduga kuat karena kehadiran SUTT memicu sambaran petir petir. Warga pun menderita kerugian akibat kerusakan barang elektronik secara massal dengan total kerugian mencapai Rp65 juta dan fasilitas umum seperti pengeras suara masjid, gardu listik serta wi-fi kantor desa. Tak hanya itu, lima orang warga juga tersengat listrik.
Kondisi ini menimbulkan trauma dan kecemasan berkepanjangan. Menurut riset Ayu Wijayanti, akademisi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, warga kini hidup dalam rasa takut dan was-was setiap kali cuaca mendung atau hujan. Mereka terbiasa mencabut seluruh perangkat listrik dari sambungan daya, melarang anak-anak bermain di luar rumah, dan menghindari interaksi sosial di ruang publik. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam suasana cemas dan masyarakat hidup dalam ketegangan yang terus-menerus.
Peluncuran Toxic20.org menjadi momentum penting untuk mengingatkan pemerintah untuk segera memensiunkan PLTU batubara, termasuk PLTU Teluk Sepang. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dengan menetapkan peta jalan pemensiunan PLTU yang terbukti merusak kehidupan warga dan ekosistem, serta beralih ke energi bersih dan berkeadilan. (Rls/01)

















