Alaku
Alaku

VARIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DALAM KERANGKA REGULATIF

  • Bagikan
Akademisi UMB Elfahmi Lubis

VARIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DALAM KERANGKA REGULATIF

Oleh : Elfahmi Lubis

Alaku

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Implementasi kedaulatan rakyat dalam bingkai negara demokrasi adalah terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) secara reguler dalam siklus lima tahunan yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu merupakan mandat konstitusi yang wajib dilaksanakan, untuk memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan hak-hak politiknya.

Ida Budhiati (2020:17) menegaskan bahwa pemilu yang demokratis pelaksanaannya harus memenuhi standar internasional yaitu semua kegiatan pemilu harus dilakukan secara independen, transparan, dan tidak berpihak. Untuk itu setidaknya ada 4 (empat) syarat harus dipenuhi agar pelaksanaan pemilu demokratis, yaitu: 1) kepastian hukum pemilu, 2) penyelenggara pemilu harus independen dan imparsial, 3) partisipasi masyarakat yang inklusif, dan 4) penegakan hukum pemilu.

Merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, dikenal beberapa jenis sengketa dalam pilkada. Yakni, mulai dari sengketa administrasi pemilihan, sengketa pelanggaran terstruktur, massif, dan terstruktur (TSM), sampai pada sengketa perselisihan hasil pemilihan. Berkaitan dengan sengketa administrasi pemilihan diberikan mandat oleh undang-undang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun jika mendapat keberatan dari para pihak yang bersengketa, diberikan ruang untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hal ini menunjukkan bahwa keputusan final penyelesaian sengketa administrasi pemilihan tetap berada di lembaga peradilan.

Kewenangan lain yang dimiliki Bawaslu adalah menyelesaikan sengketa administrasi pemilihan yang berkaitan dengan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Sengketa TSM diselesaikan secara adjudikasi oleh bawaslu, selanjutnya jika para pihak keberatan dengan putusan adjudikasi, maka dapat di challenge dengana mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Hal ini juga membuktikan bahwa keputusan final penyelesaian pelanggaran TSM muaranya tetap juga di lembaga peradilan.

Peran bawaslu juga sangat strategis dan penting dalam fungsi pengawasan, penindakan, dan penegakan hukum pelanggaran pidana pemilu. Bawaslu diberikan kewenangan untuk meneruskan laporan dugaan pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan peserta pemilihan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), bersama unsur kepolisian dan kejaksaan. Ketika masuk ranah Gakkumdu, maka muncul kewenangan mengadili dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dilingkungan peradilan umum, dan Mahkamah Agung (MA) .

Khusus mengenai sengketa perselisihan hasil Pilkada sampai saat ini secara yuridis masih menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), yang putusannya bersifat final and binding, yaitu putusan pertama dan terakhir. Konsekuensinya, apabila suatu ketika terjadi persinggungan antara kehendak rakyat dengan hukum maka hukumlah yang harus dimenangkan.

Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, membuktikan bahwa penyelesaian akhir setiap sengketa Pilkada berakhir di putusan lembaga peradilan. Fakta ini juga yang mendorong pentingnya upaya mencari dan menemukan varian alternatif penyelesaian sengketa pilkada yang ideal. Jika dilihat dari kerangka hukum kewenangan penyelesaian sengketa pilkada yang berjalan selama ini, maka pembentukan peradilan khusus pilkada merupakan pilihan paling rasional sebagai salah satu varian alternatif penyelesaian sengketa pemilihan.Soalnya, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, yang memberi mandat untuk pembentukan peradilan khusus pilkada. Namun begitu terbuka alternatif model penyelesaian sengketa pilkada lain di luar pembentukan peradilan khusus.

Penyelesaian sengketa Pilkada pasca putusan MK Nomor 97/PUU/XI/2013, secara yuridis menimbulkan problematika dari sisi aspek kewenangan. Nasriyah (2015) dalam tulisannya dimuat Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 3, menyatakan bahw mahkamah konstitusi telah mencabut kewenangannya untuk menangani sengketa pilkada dengan pertimbangan bahwa, “… pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung…”. Namun begitu, kewenangan untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada.

Berdasarkan putusan MK di atas, maka lembaga yang dianggap paling pas menangani sengketa pilkada adalah MA dengan mendelegasikan kepada pengadilan tinggi di tiap-tiap daerah. Jika pihak yang berperkara keberatan maka dapat mengajukan gugatan ke MA. Sementara itu Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, masih menyerahkan kepada mahkamah konstitusi (meski sifatnya sementara) untuk menyelesaikan sengketa persilihan suara pilkada. Untuk itu, perlu segera dibuat pengaturan tentang lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa Pilkada.

Kerumitan aspek pengaturan dan lembaga penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia, ternyata tidak saja berkaitan dengan sengketa administrasi, pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu, tapi juga merambah ke ranah etik. Pasal 1 ayat (24) UU Nomor: 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Namun pada 2020 lalu muncul yurisprudensi dimana putusan sanksi etik DKPP terhadap penyelenggara pemilu dapat digugat ke PTUN. Padahal sebelumnya putusan sanksi etik tidak boleh di challenge melalui gugatan peradilan, karena bersifat final and binding. Dengan putusan PTUN Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik, maka persoalan etik penyelenggara pemilu juga menjadi kewenangan lembaga peradilan (walaupun masih debatable)

Heru Widodo (2021), menyatakan penyelesaian sengketa pemilu sebagai sengketa politik dapat dilakulam melalui peradilan judisialisasi politik (judicialization of politics) atau juridification of politics. Dalam judisialisasi politik menundukkan penyelesaian sengketa politik melalui proses peradilan. Dalam konteks ini sengketa politik adalah sengketa antar pranata politik dan sengketa hasil proses politik. Untuk itu beberapa konsep dasar judicialization of politics, yaitu: 1) rule of law, semua termasuk negara, pemerintah ada di bawah dan tunduk pada hukum atau disebut under and subject to the law; 2) constitutionalism, sistem kekuasaan yang terbatas atau dibatasi limited government; 3) checks and balances, berkaitan erat dengan konsep atau ajaran pemisahan kekuasaan separation of powers; dan 4) ajaran hak asasi manusia, untuk menghentikan tindakan onrechtmatig overheidsdaad penguasa yang melanggar hak-hak warga negara.

Melihat belum tersistemnya proses penyelesaian sengketa pilkada dalam election law justice system, maka diperlukan alternatif model penyelesaian sengketa pilkada, baik melalui proses peradilan khusus maupun dalam bentuk penyelesaian sengketa di luar sistem peradilan. Hal ini merujuk Pasal 157 UU Nomor: 10 Tahun 2016, yaitu ayat (1) perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus, ayat (2) badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional, dan ayat (3) perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh mahkamah konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Untuk itu gagasan dan upaya mecari format ideal model penyelesaian sengketa pilkada harus terus didorong sehingga terwujud sistem penyelesaian sengketa yang permanen dan imparsial. Dengan demikian upaya peningkatan kualitas demokrasi dalam sistem elektoral berbareng dengan terbangun sistem penyelesaian sengketa pemilihan yang mandiri.

  1. Badan Peradilan Khusus Pilkada dibawah Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Wacana pembentukan badan peradilan khusus pilkada kembali mengemuka, terlebih setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan kewenangan MK mengadili sengketa Pilkada. Walaupun dalam prakteknya sampai saat ini proses penanganan sengketa hasil pilkada masih menjadi kewenangan MK. Kondisi transisi ini harus segera diakhiri dengan membentuk badan peradilan khusus untuk memberikan kepastian hukum tentang lembaga apa yang diberikan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pilkada. Selain itu desain badan peradilan khusus pilkada yang dibentuk nanti, harus diperluas kewenangannya yaitu bukan sekedar berwenang mengadili sengketa hasil pilkada, tapi juga mengadili seluruh perkara hukum berkaitan dengan pelaksanaan pilkada, seperti perkara administrasi pemilihan. Sementara Bawaslu difokuskan saja dalam tugas pengawasan dan penindakan yang bersifat preventif dan kuratif .

Ketika model lembaga penyelesaian sengketa Pilkada yang dipilih adalah peradilan khusus pilkada, maka menurut Zulfikar Arse (2020:2) sebagaimana dikutip di rubrik hukum online, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, badan peradilan khusus harus berada di bawah Mahkamah Agung. Hal itu sesuai Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah MA sebagaimana dimaksud dalam pasal 25.

Dalam konteks ini, penulis menawarkan peradilan khusus pilkada, sebagai peradilan yang berada dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pertimbangannya, karena sengketa administrasi pemilihan dan sengketa perselisihan hasil pilkada, sejalan dengan kompetensi absolut PTUN yang berwenang mengadili sengketa administratif tata usaha negara yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Jika model ini yang dipilih, maka MA perlu membuat regulasi soal pengaturan dan kewenangan peradilan khusus pilkada, termasuk soal teknis peradilan dan menyiapkan SDM hakim, pusat pendidikan dan pelatihan personil peradilan, merancang hukum acara peradilan khusus, dan atau melakukan modifikasi penyesuaian dengan hukum acara yang sudah berlaku di PTUN.

Kedua, badan peradilan khusus pilkada ini hanya menangani perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah saja. Sedangkan penanganan perkara sengketa hasil pemilu tingkat nasional tetap kewenangan MK. Ketiga, badan peradilan khusus sengketa pilkada ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Putusan badan peradilan khusus ini bersifat final dan mengikat demi peradilan cepat dan ada kepastian hukum. Keempat, badan peradilan khusus ini berkedudukan di ibukota provinsi. Berdasarkan empat hal tersebut, pembentukan badan peradilan khusus sengketa pilkada ini perlu persiapan secara matang. Seperti kesiapan perangkat aturan, personil hakim dan pegawainya yang menguasai masalah kepemiluan, prasarana dan sarana, serta anggaran.

  1. Peradilan Khusus Pilkada Mandiri

Tawaran model lain adalah dengan membentuk badan peradilan khusus pilkada mandiri yang terlepas dari sistem peradilan dilingkungan Mahkamah Agung. Jika model ini yang dipilih, maka harus ada kerangka regulasi dalam bentuk undang-undang tentang peradilan khusus pilkada. Ini artinya, kita harus mendorong pemerintah dan DPR untuk mengajukan RUU peradilan khusus pilkada dalam program legislasi nasional (prolegnas), dan diharapkan RUU itu sudah dapat disahkan sebelum dilaksanakan pilkada serentak tahun 2024 dan atau paling lambat sebelum pelaksanan pilkada serentak tahun 2029. Hanya saja persoalannya, apakah pemerintah dan DPR punya political will yang kuat atau tidak untuk membentuk badan peradilan khusus pilkada.

Jika model ini yang dipilih memang memakan waktu lama, anggaran yang besar karena menyangkut kelembagaan negara baru, personil sarana dan prasarana. Selain itu model ini belum tentu juga antara pemerintah dan DPR serta stakeholder lain memiliki persepsi yang sama soal urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada.
Dalam masa transisi sebelum terbentuknya peradilan khusus pilkada yang mandiri untuk penyelesaian sengketa pilkada, maka tetap diberlakukan mekanisme yang berlaku saat ini. Jika menyangkut penyelesaian sengketa administrasi tetap menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dimana putusannya dapat digugat oleh para pihak ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)dan kasasih ke Mahkamah Agung (MA). Menyangkut sengketa perselisihan hasil pemilihan, tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan menyangkut pelanggaran pidana pemilu, menjadi kewenangan Sentra Gakkumdu dan peradilan umum.

  1. Menjadikan Bawaslu Lembaga Quasi Judicial Penyelesaian Sengketa Persilihan Hasil Pemilihan.

Istilah kuasi peradilan (quasi judicial) mungkin masih terasa asing bagi masyarakat awam. Muh. Risnain dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, vol.3 (1/3/2014) menyebutkan istilah ini secara konseptual pernah diperkenalkan oleh Prof. Jimly Asshidiqie dalam makalahnya berjudul “Pengadilan Khusus”. Secara konstitusional, lembaga kuasi peradilan diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan kuasi peradilan misalnya, Komisi Persaingan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Pusat (KIP), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Penyelesaian sengketa merupakan bagian penting dalam hukum Pemilu. Selama ini penyelesaian sengketa terbentur pada aturan-aturan formal yang justru berdampak pada efektivitas penyelesaian sengketa itu sendiri, maka untuk itu perlu adanya alternatif penyelesaian sengketa pilkada. Bambang Pamungkas (2020) menuturkan, alternatif penyelesaian sengketa ini bisa dilakukan melalui mekanisme unilateral yang berarti penarikan kembali oleh pelapor atas gugatan sengketa yang diajukan. Selain itu juga bilateral melalui kompromi atau jalan damai antar pihak, atau melalui campur tangan pihak ketiga dengan cara konsilasi, mediasi, dan arbitrase.

Alternatif varian model lembaga penyelesaian sengketa pilkada dengan menjadikan Bawaslu sebagai quasy judicial, yaitu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan dan sengketa antara peserta dengan peserta pemilihan serta antara peserta dengan penyelenggara pemilu. Selama ini Bawaslu sebenarnya, sudah diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administrasi pemilihan, pelanggaran TSM, termasuk juga pelanggaran pidana pemilu melalui Gakkumdu. Bahkan, putusan Bawaslu terkait dengan pelanggaran TSM yang dilakukan peserta pemilihan, dijadikan dasar bagi lembaga peradilan yaitu mahkamah konstitusi untuk menolak mengadili permohonan sengketa yang diajukan.

Dalam kasus Pilpres 2020 lalu misalnya, MK menolak permohonan sengketa pelanggaran TSM yang diajukan pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dengan dasar bahwa sudah ada putusan Bawaslu RI yang menyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran TSM yang dilakukan oleh pasangan calon presiden Joko Widodo dan Makruf Amin. Hal ini menunjukkan bahwa putusan Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa administrasi pemilihan dan pelanggaran TSM, memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat. Oleh sebab itu menjadikan Bawaslu sebagai lembaga quasy judicial untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada merupakan langkah tepat dan rasional secara hukum.

Dilihat dari struktur kelembagaan, SDM, perangkat regulasi, dan anggaran, Bawaslu merupakan lembaga yang dipandang paling siap untuk menyelesaikan sengketa Pilkada. Hanya saja kelemahannya sebagai lembaga quasy judicial, keputusan Bawaslu tidak bersifat final dan mengikat namun masih dapat diuji ke peradilan dibawah lingkungan MA. Heru Widodo (2021) menegaskan bahwa terhadap putusan Bawaslu sebagai badan penyelesai yang bukan peradilan dibawah lingkungan MA, putusannya tidak dapat dikonstruksikan sebagai berkekuatan final dan mengikat.

Kelemahan berikutnya, dalam hal Bawaslu hendak direkonstruksi menjadi badan peradilan khusus pemilukada, maka kedudukannya harus dipisahkan sebagai bagian dari penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tentu saja, terdapat kekosongan lembaga pengawas pemilukada apabila Bawaslu dikeluarkan dari kedudukannya saat ini. Implikasi lain adalah kemampuan dalam menangani semgketas pilkada serentak di 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota di seluruh Indonesia, yang pelaksanaannya akan serentak dengan pemilu legislatif dan pemilihan presiden.

  1. Pembentukan Badan Arbitrase Penyelesaian Sengketa Pilkada.

Wall Alan (2006) sebagaimana dikutip di Electoral Justice: The International IDEA Handbook, disebutkan bahwa pengertian dari electoral justice atau keadilan pemilihan umum (pemilu) meliputi sarana dan mekanisme yang menjamin bahwa proses pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan bertujuan untuk menegakkan keadilan pemilu. Termasuk di dalam mekanisme keadilan pemilu adalah pencegahan sengketa pemilu, mekanisme formal untuk menyelesaikan sengketa secara kelembagaan serta mekanisme penyelesaian sengketa informal atau alternatif.

Penyimpangan apa pun dalam proses pemilu berpotensi menimbulkan sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dibedakan menjadi (a) penyelesaian sengketa formal yang bersifat korektif, di mana putusannya akan membatalkan/mencabut, mengubah atau memperbaiki ketika terjadi penyimpangan; (b) penyelesaian sengketa yang bersifat punitif, di mana putusannya akan memberikan sanksi terhadap pelaku atas pelanggaran administrasi pemilu dan pidana pemilu; dan (c) alternatif penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa dan lazimnya informal.

Di Amerika Serikat, menurut Vickery Chad (2011) APSP dicantumkan secara eksplisit dalam beberapa peraturan perundang-undangan negara bagian dan federal. Salah satu contohnya adalah dalam Program Alternatif Penyelesaian Sengketa di Federal Election Commission (FEC). Pada tahun 2000, FEC membentuk program tersebut, yang menerapkan teknik APS—dalam hal ini mediasi—untuk menyelesaikan sengketa dana kampanye federal. Menurut direktur program Lynn Fraser, penggunaan negosiasi berbasis kepentingan bersama telah mendorong terciptanya efisiensi dalam proses penyelesaian. Contoh lain berasal dari The Help America Vote Act (HAVA) yang mencantumkan kewajiban menempuh proses APS dalam sengketa pemilu.

Keadaan saat ini menunjukan bahwa penyelesaian sengketa di pengadilan tidak lagi menjadi pilihan utama karena dianggap tidak cukup efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan sering kali menimbulkan permasalahan seperti memakan waktu yang lama; tingginya biaya penyelesaian sengketa; dan penyelesaiannya juga harus berpaku pada hukum acara yang berlaku. Pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase (non litigasi) dianggap memberikan keuntungan tersendiri daripada melalui badan peradilan nasional yang ada.

Dalam proses penyelesaian sengketa, dikenal ada dua cara yang biasa dilakukan para pihak, yaitu melalui pengadilan atau litigasi dan jalur di luar pengadilan atau non litigasi. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dijelaskan bahwa mekanisme arbitrase digunakan dalam penyelesaian kasus perdata yang diawali dengan perjanjian terlebih dahulu para pihak, bahwa jika terjadi sengketa atas perjanjian telah disepakati, maka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase, atau sebaliknya penyelesaian melalui arbitrase disepakati setelah timbul sengketa.

Dalam konteks sengketa Pilkada, model penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase perlu dipertimbangkan. Model yang ditawarkan ada dua bentuk, yaitu pertama membentuk badan arbitrase Pilkada dengan varian kelembagaan menjadi bagian dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan kedua membentuk adan arbitrase pilkada dengan variaan kelembagaan mandiri. Jika varian pertama yang menjadi pilihan, maka yang perlu dilakukan merekonstruksi Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dengan menambah kewenangan dan kompetensi absolut arbitrase selain yang sudah diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan menambah kompetensi absolut arbitrase, yaitu berwenang menyelesaikan sengketa pilkada, baik yang diajukan oleh peserta pemilihan maupun penyelenggara. Jenis sengketa pilkada yang bisa diajukan ke badan arbitrase, mulai dari sengketa administrasi maupun sengketa perselisihan hasil pemilihan.

Hasil putusan penyelesaian yang sudah disepakati dalam forum arbitrase selanjutnya didaftarkan ke pengadilan negeri untuk dimintakan penetapan. Mekanisme ini dilakukan agar keputusan badan arbitrase soal penyelesaian sengketa pilkada yang telah disepakati para pihak, tidak dapat dipersoalkan kembali secara hukum melalui jalur lain, termasuk melalui proses peradilan. Untuk itu, keputusan badan arbitrase penyelesaian sengketa Pilkada, harus bersifat final dan mengikat semua pihak.

Kelebihan varian ini, para pihak yang terlibat dalam sengketa pilkada diberikan ruang dengan kedudukan yang setara dalam mencari penyelesaian terbaik atas persilihan yang terjadi. Tugas arbiter hanya menengahi dan memberikan arahan tentang alternatif penyelesaian terbaik dan saling menguntung para pihak. Namun keputusan akhir tetap menjadi domain dari masing-masing pihak yang sengketa untuk menentukan jenis dan bentuk penyelesaian yang disepakati.

Kelemahan varian ini adalah terdapat kerumitan dalam aspek pengaturan regulasi, terutama yang berkaitan dengan pemberian kewenangan dan komptensi absolut arbitrase menyelesaikan sengketa pilkada. Soalnya, sengketa pilkada berbeda karakter, tipologi, dan kerumitannya dengan sengketa perdata yang selama ini sering ditangani badan arbitrase. Sengketa pilkada adalah sengketa politik yang memiliki karakter dan kerumitan sendiri dalam aspek penyelesaiannya. Dalam sengketa politik seringkali kekuatan non hukum melakukan intervensi ke lembaga yang sedang menangani perkara. Oleh sebab ketika memilih varian arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa pilkada, maka harus dipastikan terlebih kesiapan kelembagaan, sumber daya, dan regulasinya secara kuat dan baik.

Varian kedua adalah membentuk badan arbitrase penyelesaian sengketa pilkada mandiri. Jika varian ini menjadi pilihan, maka harus mendorong pemerintah untuk membentuk lembaga ini sebelum pelaksanaan pilkada serentak 2024, dan atau paling lambat pada sebelum pelaksanaan pilkada serentak tahaun 2029. Tawaran yang paling rasional adalah pembentukannya cukup melalui Keputusan Presiden (Keppres), pertimbangan jika pembentukan badan arbitrase penyelesaian sengketa Pilkada dilakukan dengan undang-undang tersendiri, memerlukan proses yang panjang dan anggaran yang besar.

Menunggu masa transisi sebelum terbentuknya badan arbitrase penyelesaian sengketa pilkada, maka tetap diberlakukan mekanisme yang berlaku saat ini. Jika menyangkut penyelesaian sengketa administrasi tetap menjadi kewenangan Badan Pengawas Pimilu (Bawaslu), dimana putusannya dapat digugat oleh para pihak ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan kasasih ke Mahkamah Agung (MA). Menyangkut sengketa perselisihan hasil pemilihan, tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan menyangkut pelanggaran pidana pemilu, menjadi kewenangan Sentra Gakkumdu dan peradilan umum.

Pembahasan

Penyelesaian sengketa Pilkada dalam kerangka regulatif, sampai ini belum menemukan formula yang baku terkait lembaga yang berwenang melakukan penyelesaian, Dalam beberapa kali proses Pilkada, setidaknya terdapat 4 (empat) periodesasi varian model penyelesaian sengketa Pilkada yang pernal dilakukan. Heru Widodo (2021), menyebut dalam sengketa hasil Pilkada ada beberapa periodesasi peradilan yang diberikan kewenangan mengadili, yaitu: 1) Mahkamah Agung sejak periode Pilkada tahun 2005 sampai dengan 2008, 2) Mahkamah Konstitusi, sejak periode pilkada 2008 sampai dengan 2014, terakhir dengan keluarnya putusan MK Nomor: 97/PUU/XI/2013 mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada ke Mahkamah Agung, 3) Pengadilan Tinggi, sejak periode pilkada tahun 2014 sampai dengan 2015, dimana jika mendapat keberatan dari para pihak putusan pengadilan tinggi dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan 4) Mahkamah Konstitusi, periode pilkada tahun 2015 sampai terbentuknya peradilan khusus, periode ini dikenal masa transisi.

Sementara itu jika dilihat dalam kerangka regulatif varian model penyelesaian sengketa, selama pelaksanaan pilkada serentak ada dua paying hukum yang digunakan yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2015, serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 jo UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Ketika kerangka hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2014 jo UU Nomor 1 Tahun 2015 yang dipakai, maka penyelesaian sengketa hasil pilkada menjadi kewenangan pengadilan tinggi dan dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, jika ada para pihak yang keberatan. Sementara jika kerangka hukum UU Nomor 8 Tahun 2014 jo UU Nomor 10 Tahun 2015 yang digunakan maka sengketa hasil pilkada seharusnya menjadi kewenangan peradilan khusus. Namun karena peradilan khusus yang dimaksud belum dibentuk, maka dalam masa transisi tersebut kewenangan menyelesaikan sengketa Pilkada tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Untuk itu membicara berbagai alternatif varian model penyelesaian sengketa pilkada menjadi penting, dalam upaya menemukan formula yang tepat dan efektif. Ada beberapa pilihan varian penyelesaian sengketa pilkada yang perlu dipertimbangkan pembentukannya kedepan. Pertama, membentuk badan peradilan khusus pilkada yang berada dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Varian ini ditawarkan sebagai alternatif dengan pertimbangan menyesuaikan dengan mandat UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, yang memerintahkan pembentukan peradilan khusus paling lambat di Pilkada serentak 2024 yang akan datang.

Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi keluarnya putusan MK Nomor 97/PUU/XI/2013 yang membatalkan kewenangan mahamah mengadili sengketa hasil Pilkada, dan selanjutnya menyatakan Mahkamah Agung sebagai peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa pilkada. Jimly Asshiddiqie (2015), menyatakan bahwa pilihan yang paling rasional dalam menyelesaian sengketa hasil pemilihan adalah dengan membentuk peradilan khusus dilingkungan PTUN yang berwenang mengadili sengketa hasil pilkada.

Varian lain yang juga bisa digunakan adalah dengan membentuk badan peradilan khusus pilkada secara mandiri. Varian ini memang dianggap paling ideal, hanya saja ada kerumitan dalam aspek pengaturan dan pembentukan. Selain harus membuat regulasi baru berupa undang-undang khusus, juga memerlukan pembahasan panjang di pemerintah maupun DPR. Dilihat dari atmosfir dan suasana kebatinan pembentuk undang-undang sampai saat ini belum terlihat political will untuk membentuk peradilan khusus pilkada mandiri. Namun sebagai sebuah alternatif varian model penyelesaian sengketa pilkada, gagasan untuk mewujudkan peradilan khusus pilkada mandiri tetap perlu diwacanakan dalam ruang publik.

Saan Mustofa, anggota Komisi II DPR RI sebagaimana dirilis Detik News (Minggu, 02 Agustus 2020, pukul 20.27 WIB), menyatakan ada beberapa alasan perlunya pembentukan pengadilan khusus pilkada mandiri, yaitu: 1) agar tidak ada kewenangan berlebih disatu lembaga misalnya Bawaslu yang dianggap memiliki kewenangan dari mulai melakukan pengawasan pelanggaran pidana pemilu hingga proses penindakan, 2) mempercepat proses sengketa pemilihan yang ada di Mahkamah Konstitusi,dengan banyaknya sengketa hasil pemilihan yang masuk ke MK membuat lembaga ini kewalahan dan terkesan tidak efektif serta efisien, 3) mencegah tumpang tindihnya keputusan, sebagai contoh misalnya sudah ada perkara pilkada yang diputuskan suatu pengadilaan tetapi muncul lagi gugatan yang sama di pengadilan lain sehingga membingungkan masyarakat dan para pihak berperkara.

Alternatif lain varian model penyelesaian sengketa pilkada adalah menjadikan Bawaslu sebagau lembaga quasi judicial penyelesaian sengketa persilihan hasil pemilihan. Sebagai quasy judicial, skema yang diharapkan adalah diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, sengketa administrasi dan sengketa antara peserta dengan peserta pemilihan serta antara peserta dengan penyelenggara pemilu. Ahmad Bagja (2020) mengungkapkan dilihat dari struktur kelembagaan, SDM, perangkat regulasi, dan anggaran, Bawaslu merupakan lembaga yang dipandang paling siap untuk menyelesaikan sengketa Pilkada. Hanya saja kelemahannya sebagai lembaga quasy judicial, keputusan Bawaslu tidak bersifat final dan mengikat namun masih dapat diuji ke peradilan dibawah lingkungan MA.

Terakhir, alternatif varian model penyelesaian sengketa Pilkada adalah dengan membentuk badan arbitrase sengketa pilkada. Dalam varian ini, ada dua bentuk varian yang ditawarkan yaitu membentuk badan arbitrase penyeleaain sengketa Pilkada berada dilingkungan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan menambah pengaturan aspek regulasi berkaitan dengan pemberian kewenangan atau kompetensi absolute menyelesaian sengketa Pilkada melalui forum arbitrase. Bentuk lain adalah denga membentuk badan arbitrase penyelesaian sengketa pilkada secara mandiri.

Electoral Justice: The International IDEA Handbook (2019), merilis laporan bahwa untuk mewujudkan keadilan pemilihan umum harus ada sarana dan mekanisme yang menjamin bahwa proses pemilihan tidak dirusak oleh penyimpangan dan bertujuan untuk menegakkan keadilan pemilu, termasuk mekanisme pencegahan sengketa pemilu, seperti mekanisme formal penyelesaian sengketa, mekanisme penyelesaian sengketa informal atau alternatif. Penyimpangan apa pun dalam proses pemilu berpotensi menimbulkan sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dibedakan menjadi (a) penyelesaian sengketa formal yang bersifat korektif, di mana putusannya akan membatalkan/mencabut, mengubah atau memperbaiki ketika terjadi penyimpangan; (b) penyelesaian sengketa yang bersifat punitif, di mana putusannya akan memberikan sanksi terhadap pelaku atas pelanggaran administrasi pemilu dan pidana pemilu; dan (c) alternatif penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa dan lazimnya informal.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa terdapat beberapa varian model penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah, yaitu : 1) pembentukan peradilan khusus pilkada dibawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), 2) peradilan khusus pilkada mandiri, 3) menjadikan Bawaslu lembaga quasi judicial penyelesaian sengketa persilihan hasil pemilihan, dan 4) pembentukan badan arbitrase penyelesaian sengketa pilkada.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *