POLITIK DI NEGERI PARA MALING
Oleh : Elfahmi Lubis
“Politik di negeri para maling” sengaja menjadi judul tulisan ini, untuk mengingatkan kita semua bagaimana praktik kotor politik dalam sistem Pemilu dan demokrasi telah memperoleh legitimasi di negeri ini” . Berbagai sindiran publik seperti “Bukan Tukang Coblos” mengisyaratkan protes publik atas praktik hedonisme dalam Pemilu.
Pemilu Presiden, Legislatif, dan Kepala Daerah Tahub 2024 sudah selesai. Tinggal tersisa saat ini residu kontestasi, berupa kemenangan dan kekalahan. Seakan antara tangis dan tawa menjadi drama abadi dalam politik
Pemilu 2024 juga, telah kembali menguatnya tradisi Mataram dalam politik Indonesia. Walaupun tesis ini mudah sekali dibantah dengan argumentasi normatif dan politik, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih yang dijamin dalam konstitusi.
Argumentasi lain bahwa jabatan politik tersebut diperoleh bukan karena penunjukan sepihak, tapi lewat sebuah kontestasi politik melalui mekanisme elektoral. Namun sebuah realitas yang tak terbantah dalam sistem politik Indonesia, kekuasaan dan kapital telah mengalahkan integritas, kompetensi, dan akal sehat.
Bukan cerita nestapa dibalik serba serbi Pemilu 2024 yang ingin saya sampaikan pada tulisan sederhana ini, tapi bagaimana masa depan demokrasi kita dengan sistem elektoral yang sangat transaksional dan oligarkis ?
Fenomena anak, isteri, keponakan, adik, dan suami pejabat seperti menteri, gubernur, bupati, dan walikota. Lalu para keluarga penguasa parpol dan orang-orang kaya memiliki akses ekonomi, mendominasi kursi-kursi parlemen di semua tingkatan dan kepala daerah terpilih. Semakin tidak tersisa para pejuang politik dan orang-orang yang kompeten serta berintegritas yang tidak punya uang untuk terpilih dalam sirkulasi elit kekuasaan negeri ini. Data Tempo (2024) sebanyak 174 anggota parlemen terafiliasi dinasti politik, sebuah fakta miris bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Nyaris juga tak tersisa tempat dalam struktur kekuasaan bagi mereka yang tidak memiliki akses modal dan elit. Ini sebuah kenyataan kelam untuk mereka yang merasa bahwa demokrasi dan sistem politik bangsa ini masih dianggap baik-baik saja.
Jargon yang sering terdengar bahwa “tidak akan makan siang gratis di politik”, dan “tidak cukup popularitas, tapi yang paling menentukan adalah isi tas”, seolah-olah memperoleh legitimasi di negeri ini. Urusan elektoral sepertinya hanya milik mereka yang berada dalam circle oligarki.
Siapa yang memiliki akses di episentrum kekuasaan dan modal seakan menjadi pemilik negeri ini. Jargon kampanye para elit yang berapi-api sok populis, nasionalis, dan patriotis tak lebih hanya pidato yang manipulatif yang berpijak pada retoris dan jauh semakin jauh.
Praktik oligarki politik dan tradisi politik “kaula” yang feodalistik masih sangat kuat dalam budaya politik (politic culture) Indonesia saat ini. Di mana seharusnya budaya politik tersebut sudah kita kubur dalam-dalam ketika kita telah sepakat memilih demokrasi modern dalam sistem politik kita.
Kuatnya tradisi politik gaya Mataram, secara budaya bisa dipahami karena mendapat legitimasi argumen, bahwa memang Indonesia secara historis berembrio dari tradisi pemerintahan kerajaan yang berbalut klenik dan mistis. Sebut saja Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Pasai, Borneo, Ternate, Tidore, dan lain-lain.
Menguatnya tradisi Mataram tidak saja dalam perilaku politik, tapi juga menguat dalam bentuk perilaku yang diwujudkan relasi “raja dan hamba”. Relasi atasan dan bawahan di dalam birokrasi kita diwarnai perilaku “menjilat” alias “setor muka” dan manajemen ABS (asal bapak senang). Relasi kuasa seperti ini tidak saja merupakan “pembusukan” tapi juga berimbas pada iklim kerja yang kaku, nir kreativitas, nir prakarsa, nir inisiatif, dan pada stadium lanjut akan menjerumuskan sang “kuasa” ke jurang kebinasaan.
Tapi yakinlah “Seberapa kuat anda mempertahankan kekuasaan, ada satu hal yang tidak akan anda mampu lawan, yaitu WAKTU”. Selamat menikmati sajian nakal ini, jangan lupa bahagia dan saling mengasihi.
*Penulis adalah Direktur LBH-AP Muhammadiyah dan Akademisi UMB.*