Alaku
Alaku
Alaku

Satu Galianku Berharap Emas “Penambang Temukan Tulang Manusia”

Roni Marzuki

Lebong, Darah Juang Online – Berpakaian lusuh, memakai topi berbentuk bulat dipenuhi dengan kotoran seperti lumpur. Ia tidak takut menantang panas terik matahari. Tampilannya seperti petani padi sedang mencangkul sawahnya. Namanya Waluyo, sesosok laki-laki yang ramah saat kami temui.

Alaku
Pimpinan Umum Darah Juang Online, Roni Marzuki saat berdialog dengan warga penambang

Waluyo (35) adalah salah seorang warga penambang di Desa Tambang Kecamatan Lebong Utara Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu. Ia sudah dua tahun bekerja penambang emas dengan cara tradisional diwilayah tersebut.

Pelan-pelan ia mengayunkan linggis (Alat yang digunakan menggali tanah berupa besi) untuk mendapatkan ampas (tanah lumpur yang mengandung emas, perak dan kuningan).

Sekira dua meter kedalaman tanah yang telah digalinya tanpa alat pengaman. Ia dengan semangat saat melihat banyak ampas digaliannya.

Puing-puing cagar budaya di lokasi tambang

Kepada kami, Senin (16/08/21) sore ia mengatakan “Kami penambang, terkadang hanya mendapatkan upah dari pemodal. Setengah karung kecil ini di hargai Rp. 5.000. Untuk kuli angkut (Kuli panggul hasil galian) persetengah karung kecil seperti ini dibayar Rp.10.000” Kata Waluyo.

“Sehari kami hanya memperoleh uang berkisaran Rp. 1.000 Ribu sampai Rp. 150 ribu. Hanya cukup untuk menghidupi anak dan istri” Jelas Waluyo kembali.

Kemudian Waluyo juga menjelaskan bahwa dari sejarah banyak nenek moyang suku rejang yang dipekerjakan orang asing dengan cara paksa tanpa upah di wilayah tersebut.

“Dulu wilayah ini dikuasai penjajah, nenek moyang kami banyak yang meninggal dunia di tanah ini. Bahkan kami pernah menemukan tulang yang kami duga tulang manusia terkubur. Oleh karena itu, kami ingin wilayah ini kembalikan kepada kami rakyat asli suku rejang” Kata Waluyo kembali.

Selain Waluyo, kami juga sempat berdialog dengan penambang lainnya Ujang (40). Ujang mengatakan “Siang dan malam, lokasi ini dipenuhi oleh manusia. Mereka semua mencari nafkah dengan cara menambang secara tradisional” Jelas Ujang.

“Ada ribuan bahkan mungkin sampai lima ribuan orang bekerja menambang emas diwilayah ini. Mereka menambang siang hari, ada juga malam hari. Bahkan ada anak kecil yang menjadi kuli angkut hasil galian. Mereka datang dari berbagai daerah Kabupaten Lebong” Jelas Ujang.

Lebih lanjut, Ujang mengatakan “Tambang emas ini adalah harta kekayaan masyarakat Lebong. Tidak ada satupun orang asing yang boleh menikmati secara cuma-cuma kekayaan kami. Kami minta pemerintah dengan bijaksana mengembalikan hak kami. Hak kami mendapatkan pengakuan sebagai penambang” Kata Ujang kembali.

Selanjutnya Ujang menjelaskan proses pembuatan emas “Ampas yang kami peroleh ini nanti di olah dengan cara dimasukkan ke dalam mesin sederhana untuk dilebur. Kemudian nanti ada obat sejenis cairan yang dapat memisahkan, emas, perak, kuningan dan yang tidak memiliki unsur apapun. Harga obat pemisah tersebut berkisaran Rp 5.000.000 Juta. Proses kerjanya diperkirakan tiga sampai empat hari. Terkadang gagal, tidak menghasilkan apapun” Jelas Ujang.

Selain melihat langsung kekayaan negeri raflesia berupa emas, kami juga melihat langsung puing-puing bangunan. Menurut cerita warga setempat, puing-puing bangunan tersebut bangunan penjajahan Belanda saat menguasai tambang emas di wilayah ini.

Pemerintah setempat menyebutnya cagar budaya. Namun sayangnya tidak terawat. Belum lama ini dikabarkan 12 orang penambang emas diwilayah bangunan ini ditangkap oleh Polres Kabupaten Lebong. Lantaran diduga merusak cagar budaya.

Hal ini diungkapkan oleh Ujang saat berdialog dengan kami dilokasi tambang.

“Kemarin ada 12 orang rekan kami di tangkap karena menambang emas di sini. Tetapi alhamdulillah saat ini mereka sudah dibebaskan. Jika ini terjadi kembali, pemerintah sama saja membunuh rakyat” Jelas Ujang.

Selanjutnya, kami mencari informasi kembali mengapa ribuan warga menambang di lokasi ini. Padahal belum lama ini pihak Polres Kabupaten Lebong dengan tegas melarang menambang di lokasi cagar budaya.

Kami mencoba menghampiri salah seorang aktivis pembela anak tambang, Tance Putra. Tance Putra menjelaskan “Meningkatknya jumlah penambang setelah pandemi mewabah. Pandemi covid-19 membuat perekonomian warga Lebong makin sulit. Hingga warga relah menaruhkan nyawa menambang meski tanpa pengaman,”. Jelas Tance Putra.

Melihat kondisi sosial masyarakat di lokasi tambang emas ini, dirasa perlu Pemerintah setempat segera mengambil sikap untuk menyelesaikan persoalan-persoalan warga penambang. Namun tidak mengenyampingkan aset negara yang telah digaungkan sebagai cagar budaya.

Rakyat membutuhkan kemerdekaan dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, anak dan istri. Cargar budaya adalah aset negara penuh dengan sejarah. (01/Roni Marzuki).

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *