Alaku
Alaku
Alaku
Opini  

Desain Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada

Roni Marzuki

Bengkulu, Darah Juang Online – Waktu dan Tanggal pelaksanaan pemungutan suara Pemilu dan Pilkada ditetapkan dengan keputusan KPU”. Oleh karena itu, penulis hanya menggambarkan pelaksanaannya saja.

Alaku

Sebelumnya, Pemilu 2024 diwacanakan akan ditunda. Sehingga memicu gejolak dikalangan elit dan mahasiswa. Namun, KPU RI telah menegaskan Pemilu 2024 tidak ditunda dan kemungkinan akan dilaksanakan pada Tanggal 21 Februari 2024. Sementara Pilkada, dilaksanakan pada 27 November 2024.

Terpikir, 2024 masih sangat lama. Terlalu cepat untuk membahas, mengkaji soal Pemilu dan Pilkada. Tetapi, harus kita sadari. Geliatnya, sangat cepat. Saat ini saja, sudah mulai terasa. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk membahas persoalan ini.

Konsentrasi pembahasan kali ini fokus dengan penegakan hukum Pemilu dan Pilkada. Namun, sebelum jauh membahasnya. Saya ingin mengklarifikasi tulisan sebelumnya yang berjudul “Hadapi Pemilu 2024, Hal Baru Tanpa Perubahan”. Di tulisan ini ada kekeliruan penjelasan Sipol.

“Di tulisan sebelumnya, dijelaskan Penekanan penggunaan “Sistem informasi pemilu” dikenal dengan singkatan “SIPOL”. Kemudian, dijelaskan juga dengan Sipol Bawaslu, DKPP masyarakat umum bisa memantau proses pendaftaran partai calon peserta Pemilu setiap saat kapanpun dan dimanapun”.

Disini saya ingin menjelaskan “SIPOL” bukan sistem informasi Pemilu. Tetapi, “SIPOL” adalah sistem informasi partai politik. Selanjutnya, demi keamanan data yang bisa mengakses “SIPOL” untuk menginputkan data persyaratan partai politik sebagai calon peserta Pemilu hanya “Partai Politik”.

KPU bisa memantau, mendownload data-data yang telah diinputkan oleh partai politik. Sementara, Bawaslu dan masyarakat umum telah memiliki hak akses memantau jika ada kecurangan partai politik. Misalnya, pencatutan nama seseorang oleh partai politik sebagai keanggotaannya.

Hukum Pemilu dan Pilkada.

Terlebih dahulu, harus dipahami perbedaan Pemilu dan Pilkada. Keduanya sama-sama pemilihan dan merupakan proses demokrasi. Tentunya, acuan penerapan UU untuk melaksanakannya berbeda. Pemilu singkatan dari pemilihan umum, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD tingkat Kabupaten dan Kota serta memilih DPD. Sementara Pilkada, singkatan pemilihan kepala daerah. Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, memilih Bupati dan Wakil Bupati serta memilih Walikota dan Wakil Walikota.

Pemilu berpedoman dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Sementara Pilkada, mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016. Jadi, diingankan bahwa jika berhadapan dengan hukum Pemilu atau hukum Pilkada harus sesuai dengan aturan yang diterapkan.

Desain Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada.

Bicara hukum Pemilu dan Pilkada, hanya ada dua desain kerangka hukum yaitu: Pelanggaran Pemilu atau Pilkada, dan Sengketa Pemilu atau Pilkada.

Desain Hukum Pemilu dan Pilkada

Pelanggaran Pemilu dan Pilkada dikelompokkan menjadi: Pelanggaran Pidana, Pelanggaran Administrasi dan Pelanggaran Kode Etik. Sementara Sengketa Pemilu atau Pilkada terdiri dari: Hasil Pemilu atau Pilkada dan Non Hasil Pemilu atau Pilkada.

Berikut dijelaskan pelanggaran Pimilu dan Pilkada:
A. Pelanggaran Pidana.
Pelanggaran pidana adalah segala sesuatu tindakan yang memenuhi unsur pidana Pemilu dan Pilkada sesuai ketentuan UU yang berlaku. Berikut ini 12 jenis tindak Pidana Pemilu dan Pilkada:

  1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih.
  2. Kepala desa melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta Pemilu atau Pilkada.
  3. Mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye.
  4. Melakukan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU.
  5. Pelaksana kampanye melakukan pelanggaran larangan kampanye.
  6. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye.
  7. Majikan yang tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih.
  8. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya.
  9. Mengancam atau dengan tindakan kekerasan atau menggunakan kekuasaan menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih.
  10. Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan.
  11. Menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih.
  12. Memberikan suara lebih dari satu kali.

B. Pelanggaran Administrasi.
Pelanggaran administrasi adalah segala sesuatu pelanggaran terkait penegakan hukum administrasi. Misalnya, memasang alat peraga kampanye tidak pada tempatnya.

C. Pelanggaran Kode Etik.
Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang berdasarkan sumpah dan atau janji sebagai penyelenggara.

Komponen penyelenggara Pemilu dan Pilkada terdiri dari: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pelanggaran Kode Etik dapat dicontohkan: Netralitas penyelenggara atau memihak kepada salah satu peserta pemilu atau Pilkada, menyalahgunakan wewenang dalam perekrutan jajaran adhoc, tidak menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya, memperlakukan peserta Pemilu atau Pilkada secara tidak adil, dan tidak menjaga rahasia penyelenggara sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Berikut ini penjelasan sengketa Pemilu dan Pilkada:
A. Sengketa hasil Pemilu atau Pilkada.
Perbedaan persepsi hitungan perolehan suara antara KPU dan peserta Pemilu maupun Pilkada sering terjadi sengketa.

Persengketaan perselisihan hitungan perolehan suara inilah yang dimaksud dengan sengketa hasil Pemilu atau Pilkada. Misalnya Partai A merasa memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan Partai B. Sementara keputusan KPU Partai B sebagai pemenang.

B. Sengketa non hasil Pemilu atau Pilkada.
Persengketaan semacam ini sering terjadi saat proses Pemilu atau Pilkada sedang berlangsung. Hal ini terjadi akibat diterbitkannya keputusan KPU yang dirasa merugikan peserta Pemilu atau Pilkada.

Sehingga, sengketa non hasil Pemilu atau Pilkada dapat dijelaskan sengketa yang terjadi antara peserta Pemilu atau Pilkada dan sengketa Peserta Pemilu atau Pilkada dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten atau Kota selama proses Pemilu atau Pilkada berjalan. Misalnya: Keputusan KPU partai B tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pemilu.

Prosedur Pelaporan Hukum Pemilu dan Pilkada.

Salah satu lembaga yang menangani hukum Pemilu dan Pilkada adalah Bawaslu. Segala bentuk dugaan melawan hukum Pemilu maupun Pilkada dapat dilaporkan ke Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota sesuai dengan tempat perkara terjadi. Kecuali, dugaan pelanggaran kode etik dan sengketa hasil Pemilu dan Pilkada.

Yang dapat melaporkan dugaan melawan hukum Pemilu atau Pilkada adalah warga negara Indonesia yang bertugas pemantau Pemilu atau Pilkada, orang yang bertindak sebagai saksi, peserta Pemilu atau Pilkada dan masyarakat.

Prosedur pelaporan pelanggaran pidana.

Dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu maupun Pilkada dapat dilaporkan ke Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten dan Kota sesuai domisili tempat perkara terjadi.

Proses pelaporan dapat dilakukan 7 hari sejak ditemukannya dugaan tindak pidana. Selanjutnya, dalam waktu 5 hari kerja Bawaslu wajib menangani laporan dugaan pelanggaran tindak pidana tersebut.

Bawaslu hanya mempunyai waktu 7 hari untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran tindak pidana. Jika dalam waktu 7 hari belum mendapatkan bukti yang kuat, waktu penyelesaiannya ditambah 7 hari. Setelah ditemukan unsur pidana dan telah berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu berkas perkara harus diteruskan ke polisi setempat. Dan Sebaliknya, jika tidak ditemukan unsur pidana Bawaslu wajib menghentikan perkara.

Terhitung sejak menerima berkas perkara, pihak polisi hanya memiliki waktu 14 hari kerja. Selanjutnya, polisi wajib melakukan penyelidikan dan penyidikan. Setelah berkas perkara mencukupi alat bukti, berkas perkara wajib dilimpahkan ke Pengadilan Negeri meskipun terlapor tidak hadir saat pemanggilan. Dasar hukum pelanggaran pidana adalah Pasal 476 ayat 1-2 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Prosedur pelaporan pelanggaran administrasi.
Dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan Pilkada dapat dilaporkan ke Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota sesuai domisili temuan pelanggaran administrasi terjadi.

Setelah menerima atau menemukan dugaan pelanggaran administrasi Bawaslu wajib melakukan penyelidikan dan pengkajian. Proses penyelesaiannya melalui sidang yang digelar oleh Bawaslu. Namun, hasil akhir proses penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu dan Pilkada sangat berbeda.

Hasil akhir dari proses persidangan pelanggaran administrasi Pemilu adalah keputusan eksekusi dari Bawaslu. Jika terbukti dugaan pelanggaran administrasi Bawaslu wajib membuat surat keputusan eksekusi dan menyampaikan surat keputusan tersebut ke KPU atau dinas terkait untuk di eksekusi. Jika tidak memiliki cukup bukti, perkara wajib dihentikan.

Setelah menerima surat keputusan eksekusi dari Bawaslu. KPU wajib melaksanakan surat eksekusi tersebut. Jika tidak dieksekusi KPU bisa dilaporkan ke DKPP dengan tuduhan dugaan pelanggaran kode etik.

Sementara, hasil akhir dari pelanggaran administrasi Pilkada adalah surat rekomendasi dari Bawaslu ke KPU untuk ditindak lanjuti. Proses penyelesaiannya sama dengan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu.

KPU wajib menindaklanjuti surat rekomendasi dari Bawaslu dengan mengkaji dan mempelajari rekomendasi tersebut. Dasar hukum pelanggaran administrasi ini adalah Pasal 460 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Proses pelaporan pelanggaran kode etik.
Dugaan pelanggaran kode etik dapat dilaporkan ke Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota sesuai domisili temuan dugaan pelanggaran kode etik terjadi. Atau bisa langsung melapor ke DKPP.

Setiap menerima laporan atau menemukan dugaan pelanggaran kode etik Bawaslu wajib mempelajari dan melakukan pengkajian. Jika terbukti dugaan pelanggaran kode etik Bawaslu harus meneruskannya ke DKPP. Dasar hukum pelanggaran kode etik Pasal 456 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Proses pelaporan sengketa hasil Pemilu atau Pilkada.
Pihak yang merasa dirugikan dengan hasil Pemilu atau Pilkada dapat menempuh jalur hukum ke Mahkama Konstitusi (MK). Dasar hukum sengketa hasil Pemilu terdapat pada Pasal 473 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Proses pelaporan sengketa non hasil Pemilu dan Pilkada.
Persengketaan non hasil Pemilu dan Pilkada dapat dilaporkan ke Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota tempat perkara terjadi.

Bawaslu wajib mempelajari dan melakukan pengkajian terkait laporan tersebut. Hasil akhir proses yang dilewati penyelesaian perselisihan non hasil Pemilu dan Pilkada adalah putusan Bawaslu.

Jika masing-masing pihak tidak terima dengan hasil putusan Bawaslu, dapat melanjutkan laporan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) untuk perselisihan non hasil Pemilu.

Sementara, non hasil Pilkada. Jika penggugat belum puas dengan putusan Bawaslu. Penggugat dapat meneruskan laporannya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Selanjutnya, jika penggugat belum puas dengan putusan PTTUN, penggugat bisa melanjutkan kasasi ke Mahkama Agung (MA). Dasar hukum pelanggaran non hasil Pemilu adalah Pasal 456 UU Nomor 7 Tahun 2017. (01).

Ditulis oleh: Roni Marzuki
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Darah Juang Online dan juga alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bengkulu.

Baca Artikel Terkait:

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *