Alaku
Alaku
Alaku
Opini  

Politik Pengawasan Tegakan Hukum Pidana Pemilu dan Pemilihan

Roni Marzuki

Oleh: Roni Marzuki
Penulis adalah pimpinan redaksi Darah Juang Online dan Alumni HMI Cabang Bengkulu.

Alaku

Bengkulu, Darah Juang Online – Mandat undang undang dasar (UUD 1945) Negara Republik Indonesia menjamin rakyat untuk menentukan sikap sesuai hati nurani memilih pemimpin atau wakilnya. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menegaskan “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang”.

Maksud Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 tersebut di atas adalah rakyat bebas, merdeka, tanpa ada tekanan dan pengaruh dari pihak manapun untuk menentukan pilihan memilih wakil atau pemimpin dirinya yang akan melayani masyarakat sebagai pemimpin bangsa.

Pelaksanaannya, diatur oleh UU. Oleh karena itu, disusun aturan main penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Aturan main pemilihan umum (Pemilu) berpedoman dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Sementara pemilihan kepala daerah (Pemilihan) mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2015 telah diubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016 terahir diubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020.

Pasal 1 poin 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan Pemilu adalah Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedalautan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sementara, Pemilihan dijelaskan dalam Pasal 1 Poin 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten Kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Dari penjelasan di atas telah cukup jelas perbedaan Pemilu dan Pemilihan. Secara umum, istilah Pemilu sudah akrab ditelinga masyarakat. Tetapi, istilah Pemilihan masih jarang terdengar. Istilah Pemilihan yang tertulis di UU. Sementara, istilah bahasa sehari-hari masyarakat Pemilihan itu sering disebut Pilkada atau singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah. Jadi Pemilihan adalah istilah dalam bahasa hukum untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Prinsipnya, dibuat aturan main (UU) Pemilu dan Pemilihan bertujuan menegakan keadilan untuk mewujudkan rakyat yang berdaulat. Prakteknya, Pemilu sebelumnya masih terdapat banyak persoalan baik pelanggaran maupun sengketa.

Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Pemilu 2020 lalu 18.668 permasalahan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akibat temuan itu, Bawaslu RI merekomendasikan sebanyak 58 TPS melakukan pemungutan suara ulang dan 48 TPS direkomendasikan penghitungan suara ulang. (Dikutif dari Antara).

Kemudian, republika melaporkan Bawaslu RI mencatat 12 putusan Pengadilan Negeri menghukum pelanggar tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan. Pelakunya mulai dari Kepala Desa, Aparatur Sipil Negara (ASN), Penyelenggara Pemilu, hingga Pejabat Kepala Daerah.

Temuan ini, hanya rangkuman dari sejumlah kasus lainnya. Oleh karena itu, Bawaslu sebagai motor penggerak mengawal proses demokrasi harus lebih mampu menyadarkan peserta Pemilu, pemilih dan penyelenggara untuk taat aturan. UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 89 adalah kekuatan hukum bagi Bawaslu untuk menjalankan tugas pengawasan yaitu pencegahan dan penindakan pelanggaran maupun sengketa Pemilu.

Kesadaran masyarakat berperan mengawal proses demokrasi adalah salah satu bentuk keberhasilan Bawaslu mencegah pelanggaran Pemilu. Semakin banyak masyarakat sadar dan berani melaporkan tindakan pelanggaran Pemilu akan membantu Bawaslu dalam melakukan pencegahan dan penindakan. Dengan demikian, jargon “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakan Hukum Pemilu” terwujud.

Memang, bukan persoalan gampang menumbuh ngembangkan kesadaran lapisan masyarakat pentingnya kejujuran dan keadilan dalam menegakan Pemilu bebas dari segala bentuk kecurangan. Oleh sebab itu, Politik Pengawasan diperlukan. Pemikiran politik pengawasan masih jarang terdengar diberbagai kajian ilmiah maupun ruang studi.

Asumsi sulitnya mengajak lapisan masyarakat taat aturan dalam melaksanakan proses demokrasi di atas telah cukup untuk mendefinisikan politik pengawasan. Politik pengawasan dapat diartikan pengaruh pengawas untuk mendorong seluruh pihak untuk taat aturan.

Komisioner Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan, Azhar Ridhani dalam tulisannya berjudul “Strategi pengawas Pemilu menangani tindak pidana Pemilu” berpendapat bahwa politik pengawasan adalah cara pandang terhadap pelanggaran pemilu tidak dilihat dari satu fakta tetapi dikaji lebih jauh apakah ada dampak pelanggaran lain dari fakta tersebut.

Pandangan Azhar ini memperjelas bahwa kerja pengawasan bukan hanya melihat ada dan tidaknya pelanggaran. Tetapi lebih jauh, seorang pengawas pemilu harus cerdas, berwawasan luas mampu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang sehingga ia mampu menyelesaikan masalah itu dengan adil.

Ilmu Politik Pengawasan tepat dikembangkan untuk menekan pelanggaran pidana, administrasi, kode etik, sengketa hasil dan sengketa non hasil. Namun kajian ini lebih fokus membahas pelanggaran pidana.

Kenali Jenis Pelanggaran Pidana Pemilu dan Pemilihan.

Pelanggaran pidana pemilu adalah segala suatu pelanggaran yang mengandung unsur pidana khusus pemilu. Berikut dicontohkan jenis pelanggaran pidana pemilu yang lazim terjadi:

  1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih. Pasal 488 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutama suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  2. Kepala Desa melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan perserta pemilu. Pasal 490 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  3. Selain Kepala Desa, Perangkat Desa juga dilarang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan calon lainnya. Pasal 29 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang menyebutkan larangan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretaris Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis, untuk menjadi pengurus Partai Politik (Parpol) dan ikut serta atau terlibat dalam kampanye Pilkada. Oleh karena itu, jika ditemukan Perangkat Desa ikut terlibat dalam pelanggaran dugaan pidana pemilu adalah langkah awal Bawaslu untuk melakukan penyelidikan.
  4. TNI, Polri, ASN, Kepala Desa, Perangkat Desa dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilarang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Pasal 494 tentang Pemilu, Berbunyi “Setiap Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan/ atau anggota Badan Permusyawaratan Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 dipidana dengan pidana kurungan paling lama I ( satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
  5. Mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilu. Pasal 491 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  6. Melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU. Pasal 492 UU Pemilu, berbunyi. “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten atau Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  7. Pelaksana kampanye pemilu dilarang melakukan pelanggaran larangan kampanye. Pasal 493 UU Pemilu, berbunyi. “Setiap pelaksana dan/atau tim kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  8. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu. Pasal 496 dan Pasal 497 UU Pemilu, berbunyi: Pasal 496 “Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).” Pasal 497 “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
  9. Majikan/Pimpinan/Atasan menghalangi atau tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih. Pasal 498 UU Pemilu, berbunyi: “Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja/karyawan untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
  10. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya. Pasal 510 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
  11. Dilarang dengan kekerasan, ancaman atau kekuasaan menghalangi seseorang untuk mendaftar sebagai pemilih. Pasal 511 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
  12. Dilarang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan. Pasal 514, berbunyi: “Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).”
  13. Menjanjikan atau memberikan uang kepada Pemilih. Pasal 515 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
  14. Memberikan suaranya lebih dari satu kali. Pasal 516 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu TPS/TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
  15. Menghilangkan hak seseorang untuk menjadi kepala daerah. Pasal 180 ayat 1 yang menyebutkan, setiap orang sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi kepala daerah. Bisa diancam dengan hukuman penjara 36 bulan dan denda Rp. 36.000.000.
  16. Menyalahgunakan kekuasaan, wewenang atau jabatan untuk menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Pasal 188 juncto Pasal 71 Ayat 3 menyebutkan Tindakan pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri kepala desa atau sebutan lain/lurah yang membuat keputusan atau tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dapat dihukum dengan denda dan atau hukuman lainnya.
  17. Menambah atau mengurangi hasil perhitungan suara. Pasal 185B juncto Pasal 186.
  18. Menggunakan fasilitas negara, lingkungan sekolah dan tempat beribadah untuk merugikan atau menguntungkan salah satu calon.
  19. Menghina UUD Negara Republik Indonesia.

Politik Pengawasan Cegah Tindak Pidana Pemilu dan Pemilihan.

Sebaiknya, seorang pengawas berprinsip lebih baik mencegah dari pada menindak. Mencermati jenis-jenis pelanggaran yang sering terjadi di atas. Dirasa perlu menyusun kerangka strategis pencegahan dugaan tindak pidana khusus Pemilu dan Pemilihan.

Berikut ini diuraikan langkah pencegahan tindak pidana khusus Pemilu dan Pemilihan:

  1. Lakukan pemetaan wilayah rawan terjadi tindak pidana Khusus Pemilu atau Pemilihan.
  2. Lakukan pemetaan dan pemantauan teknologi informasi rawan terjadinya tindak pidana khusus Pemilu atau Pemilihan. (Misal akun-akun yang sering digunakan untuk merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon atau calon).
  3. Lakukan pemetan kelompok partisipan pengawasan.
  4. Gencar melakukan pendidikan politik atau sosialisasi Pemilu atau Pemilihan sehat terhadap masyarakat dan kelompok partisipan pengawasan.
  5. Bangun kerja sama yang baik kepada pers dan kelompok partisipan pengawasan untuk mensosialisasikan pendidikan politik.

Berbicara “Politik Pengawasan” adalah berbicara sejauh mana seorang pengawas mampu membawa misi pengawasan menyadarkan peserta Pemilu dan Pemilihan, Pemilih serta Penyelenggara untuk taat aturan.

Selain itu, seorang pengawas harus mampu mendorong seluruh lapisan masyarakat secara sadar untuk kritis dan berani mengatakan benar itu benar dan salah itu salah.

5 langkah taktis di atas adalah bagian dari upayah pencegahan terjadinya tindak pidana khusus Pemilu dan Pemilihan. Langkah taktis ini mendorong cara berpikir seorang pengawas untuk mengetahui titik-titik rawan terjadi tindak pidana pemilu.

Selain titik rawan, tentu ada kelompok idealisme (berpikir kebenaran). Kelompok ini yang harus dijadikan mitra seorang pengawas sebelum terkontaminasi oleh kelompok politik praktis. Kelompok idealisme, dapat dijadikan kader aktif pengawas sekaligus menciptakan generasi pengawas profesional.

Selain kelompok idealisme, pers juga berpengaruh sukses dan tidaknya pengawasan. Musim politik, pers yang tidak diolah dengan baik oleh pengawas cendrung terpolarisasi (terpecah belah). Terpecah belahnya pers di musim politik, akibat mendukung salah satu calon. Oleh karena itu, sebelum pers dijadikan alat politik praktis ada baiknya pengawas harus lebih dahulu menjadikan pers mitra kerja.

Penanganan Tindak Pidana Pemilu dan Pemilihan.

Setelah pencegahan, tindakan tegas pengawasan adalah penindakan. Tindakan harus terukur sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Penanganan dugaan tidak pidana Pemilu dan Pemilihan secara umum tidak jauh berbeda. Keduanya harus memuat syarat formil dan syarat materil.

Syarat formil yaitu identitas yang jelas pelapor dan terlapor. Setidaknya jelas nama, alamat, waktu melapor tidak kadaluarsa serta kesesuaian tanda tangan formulir laporan dengan kartu identitas pelapor.

Sementara syarat materil adalah uraian kejadian tindakan pidana khusus pemilu. Uraian kejadian, dapat disampaikan secara jelas baik tulisan maupun lisan. Laporan yang disampaikan harus dilengkapi dengan alat bukti, saksi, waktu kejadian dan tempat kejadian.

Laporan dapat disampaikan kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota sejak 7 hari ditemukannya dugaan tindak pidana. Yang dapat melaporkan dugaan tindak pidana khusus Pemilu dan Pemilihan adalah warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih di wilayah setempat, pemantau dan peserta pemilihan.

Proses penanganan tindak pidana khusus Pemilu.

Setelah menerima laporan, pengawas Pemilu (Bawaslu) wajib menindak lanjuti laporan tersebut. Pengawas memiliki waktu 7 hari sejak laporan diterima untuk mengkaji dan mengumpulkan alat bukti. Jika dalam waktu 7 hari, keterangan alat bukti belum lengkap waktu penyelidikan dapat diperpanjang 7 hari.

Pengawas Pemilu dalam melaksanakan tugasnya harus berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu. Setelah alat bukti lengkap dan dikaji bersama Sentra Gakkumdu, pengawas harus segera memutuskan hasil kajian dan penyelidikan melalui rapat pleno.

Jika hasil pembahasan pengawas dan Sentra Gakkumdu terbukti unsur pidana, pengawas wajib meneruskan berkas perkara ke Penyidik Polri. Dan jika sebaliknya, tidak ditemukan unsur pidana pengawas harus menghentikan penyelidikan.

Penyidik Polri hanya memiliki waktu 14 hari kerja sejak diterima berkas perkara dari pengawas untuk melakukan penyidikan. Setelah menerima berkas perkara dari pengawas Pemilu, penyidik wajib mengirim surat pemberitahuan kepada kejaksaan bahwa penyidikan telah dimulai.

Dalam proses penyidikan, Jaksa berperan melakukan pendampingan dan monitoring. Setelah berkas penyidikan tercukupi, berkas Perkara harus dilimpahkan ke Penuntut Umum.

Jika berkas perkara dirasa belum lengkap, Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas kepada Penyidik Polri. Penyidik Polri hanya memiliki waktu 3 hari kerja untuk melengkapi kekurangan berkas perkara. Proses melengkapi alat bukti seperti ini, hanya boleh dilakukan satu kali.

Setelah menerima berkas perkara dari penyidik Polri, Penuntut Umum hanya memiliki waktu 5 hari kerja sejak diterimanya berkas perkara dari penyidik Polri. Setelah berkas perkara tercukupi, Penuntut Umum membuat rencana dan surat dakwaan, menyusun rencana penuntutan dan membuat surat tuntutan.

Setelah itu Penuntut Umum melaporkan kepada Pembina Sentra Gakkumdu dari unsur Kejaksaan sesuai dengan tingkatan. Tembusan surat dakwaan disampaikan kepada Koordinator Gakkumdu.

Dalam hal terdapat permohonan praperadilan baik dalam tingkat penyidikan atau penuntutan maka Pengawas Pemilu, Penyidik dan atau Penuntut Umum melakukan pendampingan dan monitoring.

Proses penanganan tindak pidana khusus Pemilihan.

Penanganan dugaan tindak pidana Pemilihan atau sering dikenal Pilkada harus memenuhi syarat formil dan materil. Temuan tindak pidana Pemilihan dapat dilaporkan dalam waktu 7 hari sejak ditemukan dugaan tindak pidana.

Dugaan tindak pidana Pemilihan dapat dilaporkan ke Pengawas Pemilihan (Bawaslu), Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota sesuai tempat kejadian perkara. Pengawas hanya memiliki waktu 3 hari kerja sejak laporan diterima dan wajib menindak lanjuti laporan tersebut. Jika dalam waktu 3 hari masih dibutuhkan keterangan tambahan pengawas bisa memperpanjang waktu 2 hari kerja.

Pengawas harus berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu dalam menjalankan tugas. Setelah dinilai alat bukti mencukupi, pengawas wajib menggelar rapat pleno untuk memutuskan apakah laporan dugaan tindak pidana Pemilihan dapat dilanjutkan ke penyidikan atau tidak.

Jika hasil rapat pleno laporan dugaan tindak pidana tersebut dapat dilanjutkan ke penyidikan, berkas perkara harus dikirim ke Penyidik Polri. Jika sebaliknya, tidak dapat dilanjutkan. Proses laporan dihentikan.

Penyidik Polri memiliki waktu 14 hari kerja untuk melakukan penyidikan. Penyidik Polri yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu dapat melaksanakan penyelidikan dan penyidikan setelah menerima berkas laporan dari pengawas. Dalam menjalankan tugas Penyidik Polri dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti untuk kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat.

Setelah penyelidikan dan penyidikan selesai dalam waktu 14 hari kerja. Berkas perkara harus dilimpahkan kepada Penuntut Umum. Penuntut Umum memiliki waktu 3 hari kerja untuk mempelajari berkas perkara yang diterima dari Penyidik Polri.

Jika berkas perkara yang diterima dari Penyidik Polri belum mencukupi alat bukti, Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara disertai dengan petunjuk melengkapi alat bukti kepada Penyidik Polri.

Penyidik Polri hanya memiliki waktu 3 hari kerja untuk melengkapi alat bukti sesuai petunjuk dari Penuntut Umum. Setelah melengkapi kekurangan alat bukti Penyidik Polri wajib melimpahkan berkas perkara ke Penuntut Umum kembali. Proses pelengkapan alat bukti seperti ini hanya bisa dilakukan 1 kali.

Penuntut Umum hanya memiliki waktu 5 hari kerja untuk menyiapkan dan mempelajari berkas perkara dugaan tindak pidana khusus Pemilihan. Setelah berkas perkara sudah lengkap Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.

Pengadilan Negeri memiliki waktu 7 hari kerja sejak menerima limpahan berkas perkara tindak pidana khusus Pemilihan dari Penuntut Umum. Dalam hal mengadili dugaan tindak pidana khusus Pemilihan, Pengadilan Negeri menggunakan kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pemilihan. Sidang memutuskan perkara tindak pidana khusus Pemilihan dilakukan oleh majelis khusus Pemilihan.

Jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat hasil putusan, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan banding dalam waktu 3 hari kerja sejak putusan dibacakan. Setelah menerima permohonan banding, Pengadilan Negeri wajib melimpahkan berkas banding kepada Pengadilan Tinggi dalam waktu 3 hari kerja.

Dalam waktu 7 hari kerja sejak menerima berkas banding, Pengadilan Tinggi harus memutuskan perkara. Putusan Pengadilan Tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain setelah putusan Pengadilan Tinggi.

Selanjutnya, hasil putusan Pengadilan Tinggi harus disampaikan kepada Penuntut umum dalam waktu 3 hari kerja sejak putusan dibacakan. Penuntut umum harus melaksanakan hasil putusan tersebut dalam waktu 3 hari kerja. Selanjutnya, salinan putusan harus disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau Kabupaten atau Kota dan Peserta Pemilihan setelah putusan dibacakan.

Kesimpulan.

Penanganan pidana khusus Pemilu dan Pemilihan harus diselesaikan dengan waktu sangat singkat. Lama proses penanganan, sudah diatur UU. Pertanyaannya, apakah komisioner Bawaslu Provinsi dan Kabupaten Kota dengan jumlah SDM terbatas mampu menyelesaikan berbagai temuan dan laporan kasus?.

Menjawab pertanyaan ini, soal mampu dan tidak. Tentu, seorang pengawaslah yang tahu. Menyimak pembahasan di atas, seorang pengawas harus berpikir lebih baik mencegah dari pada menindak. Konsep “Politik pengawasan” menjadi salah satu alternatif strategi menyadarkan seluruh lapisan masyarakat taat aturan Pemilu dan Pemilihan.

Saran.

Mewujudkan jargon “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakan Hukum Pemilu”
seorang pengawas harus mampu membangun kerja sama yang baik dengan kelompok idealisme dan pers.

Konsep “Politik pengawasan” dapat diterapkan oleh pengawas Pemilu dan Pemilihan untuk menegakan kedaulatan rakyat. (01).

Baca juga artikel terkait:

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *